Zona Ekonomi Khusus, Antara Wacana dan Gimmick Pejabat, Oleh: Arby Pratama

Arby Pratama, Wartawan Kupas Tuntas Grup di Kota Metro. Foto: Dok.
Kupastuntas.co, Metro - Rencana menjadikan Shopping Center Metro sebagai Zona Ekonomi Khusus (ZEK) menjadi perbincangan hangat di kalangan publik Kota Metro.
Sebuah wacana yang menggoda sekaligus memancing tanya: benarkah ini awal dari transformasi ekonomi kota, atau hanya sekadar janji manis birokrasi yang tak kunjung membumi?
Wacana ini pertama kali disuarakan oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Kota Metro, Ismet. Ide tersebut seolah menjadi angin segar bagi wajah kerontang pusat perbelanjaan legendaris tersebut.
Shopping Center, yang dulunya menjadi jantung ekonomi dan simbol geliat perdagangan Metro, kini tinggal nama. Gedung tua itu sepi, ditinggalkan tenant dan pelanggan, menjadi saksi bisu perubahan zaman dan kegagapan pemerintah dalam mengelola ruang strategis.
Maka, ketika istilah Zona Ekonomi Khusus keluar dari mulut pejabat DPM PTSP, publik punya dua reaksi: antusias dan skeptis. Di satu sisi, siapa yang tak ingin kawasan mati suri itu hidup kembali dengan denyut investasi, lapangan kerja, dan modernisasi tata kota? Tapi di sisi lain, sejarah panjang proyek 'ambisius' tanpa realisasi di Metro membuat banyak pihak justru meragukan kemampuannya.
Mendirikan ZEK bukan pekerjaan ringan. Tidak cukup dengan niat dan narasi optimistis, apalagi sekadar menyusun proposal ke pusat tanpa roadmap konkret.
Zona Ekonomi Khusus mensyaratkan infrastruktur mumpuni, insentif pajak dan regulasi yang kompetitif, birokrasi yang lincah, serta dukungan ekosistem bisnis yang sudah matang. Apakah Pemkot Metro memiliki semua itu?
Jika berkaca dari pengalaman beberapa daerah lain seperti Batam, Bitung, dan Morotai yang telah lebih dulu mengelola ZEK, kesuksesan sangat bergantung pada kejelasan arah, profesionalisme pengelola, serta integrasi antar sektor, bukan hanya perizinan yang dipermudah.
Apakah Metro, dengan segala keterbatasan fiskal dan birokrasi yang cenderung lamban, bisa memikul beban besar ini? Pemkot perlu menjawab dengan kerja nyata, bukan sekadar paparan presentasi atau lembaran dokumen perencanaan.
Dalam kerangka urban planning, Shopping Center Metro adalah prime location. Letaknya di jantung kota, berhadapan langsung dengan Jalan Jenderal Sudirman dan berdekatan dengan pasar tradisional serta fasilitas umum.
Namun kini, bangunannya kumuh, estetikanya usang, dan fungsinya nyaris nihil. Pemerintah tampak membiarkannya merana, seperti kehilangan arah dalam mengelola aset publik.
Ironisnya, saat properti swasta di kota berkembang pesat dengan mal modern, kafe kekinian, dan pusat UMKM baru, Shopping Center justru stagnan. Padahal, dengan pengelolaan profesional, kawasan ini bisa disulap menjadi hub UMKM digital, co-working space, creative hub, atau pusat logistik berbasis teknologi.
Sayangnya, alih-alih revitalisasi konkret, yang keluar justru jargon kalimat Zona Ekonomi Khusus. Publik pun layak curiga, apakah ini solusi atau sekadar cara baru untuk menggantang asap?
Ketika sebuah kebijakan dikumandangkan tanpa dokumen induk yang matang, tanpa feasibility study, tanpa komitmen investasi awal, tanpa dukungan politis di level provinsi dan pusat, maka besar kemungkinan itu akan berakhir menjadi proyek pepesan kosong. Wacana ZEK bisa menjadi jebakan retoris yang terdengar hebat, namun hampa isi.
DPM PTSP tentu ingin menunjukkan visi besar. Tapi visi tanpa desain eksekusi hanyalah mimpi. Lebih dari itu, publik berhak tahu: siapa yang bakal jadi pengembangnya? Apa bentuk insentifnya? Bagaimana dampaknya pada PKL di sekitar Shopping Center? Apakah sudah ada studi sosial-ekonomi untuk mengukur implikasinya?
Belum lagi soal pendanaan. Transformasi kawasan sebesar Shopping Center bukan pekerjaan ringan, dan tentu tak bisa hanya mengandalkan APBD Metro yang sangat terbatas. Apakah sudah ada MoU dengan investor nasional atau asing? Atau masih tahap ide dan angan-angan?
Untuk membuktikan keseriusan, Pemkot Metro perlu menunjukkan tindakan nyata seperti menerbitkan Masterplan Perubahan Fungsi Shopping Center, bukan sekadar konsep, tapi rencana rinci yang bisa diakses publik.
Lalu, menggelar Forum Investasi Terbuka. Libatkan pelaku usaha, perbankan, investor, dan tokoh masyarakat agar ide ini mendapat dukungan luas. Revitalisasi sementara: meski belum jadi ZEK, tata dulu lah kawasan itu agar tidak jadi ‘kuburan ekonomi’. Hidupkan dengan event reguler, relokasi UMKM, atau pameran seni.
Bangun komunikasi politik ke pusat. Dapatkan dukungan dari Kementerian Investasi/BKPM dan Kementerian Koordinator Perekonomian. Tanpa restu pusat, ZEK hanya isapan jempol.
Rencana menjadikan Shopping Center Metro sebagai Zona Ekonomi Khusus adalah gagasan berani yang patut diapresiasi. Tapi rencana tanpa keberanian eksekusi akan menjadi beban politik, bukan kemajuan. Pemkot Metro, terutama DPM PTSP, harus sadar bahwa publik tidak butuh wacana bombastis, tapi kerja nyata.
Metro tidak kekurangan ide. Yang kurang adalah keberanian mengeksekusi ide itu dengan integritas dan keteguhan. Jika tidak, Shopping Center bukan akan menjadi Zona Ekonomi Khusus, tapi zona kenangan, tempat dimana ambisi pemerintah dikubur oleh realitas dan kelalaian. (*)
Berita Lainnya
-
Tok! Raperda RPJMD 2025-2029 Kota Metro Disahkan Menjadi Perda
Rabu, 06 Agustus 2025 -
Sempat Kabur 2 Bulan, Dua Pelajar Pelaku Jambret di Metro Selatan Ditangkap
Rabu, 06 Agustus 2025 -
Normalisasi Sungai Jadi Usulan Prioritas Pemkot Metro ke Menko Infrastruktur
Selasa, 05 Agustus 2025 -
Pasar Murah di Metro Pusat Diserbu Emak-emak, Antrean Mengular
Selasa, 05 Agustus 2025