Pengamat: Lonjakan Cerai Gugat di Lampung Cerminkan Ketimpangan Peran dalam Rumah Tangga

Pengamat Hukum Keluarga dari UIN Raden Intan Lampung, Abdul Qodir Zaelani. Foto: Ist
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pengamat
Hukum Keluarga dari UIN Raden Intan Lampung, Abdul Qodir Zaelani, menyebut tren
cerai gugat yang mendominasi sebagai sinyal kuat ketimpangan peran antara suami
dan istri dalam rumah tangga.
Data dari Pengadilan Tinggi Agama (PTA)
Bandar Lampung mencatat, sepanjang Januari hingga Desember 2024 terdapat 17.081
perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan agama se-Lampung.
Dari jumlah tersebut, 13.865 perkara
merupakan cerai gugat atau gugatan cerai dari pihak istri. Sementara cerai
talak yang diajukan oleh suami hanya 3.216 perkara.
“Mayoritas yang menggugat cerai adalah
perempuan. Ini menunjukkan banyak perempuan merasa tidak mendapatkan haknya dalam
pernikahan, entah secara ekonomi, emosional, atau perlakuan,” kata Abdul Qodir,
Kamis (7/8/2025).
Abdul Qodir mengungkapkan bahwa
perceraian bukan hanya memutus ikatan hukum antara suami dan istri, tapi juga
meninggalkan dampak sosial yang berat, terutama bagi perempuan. Menurutnya,
status janda masih sering dipandang negatif oleh masyarakat, apalagi jika
mereka tidak memiliki pekerjaan atau keterampilan.
“Ketika perempuan berstatus janda dan
membawa anak, tanpa dukungan ekonomi yang cukup, dia rentan termarjinalkan
secara sosial dan ekonomi,” jelasnya.
Ia mendorong pemerintah agar lebih aktif
memberikan pelatihan keterampilan bagi para janda agar mereka bisa mandiri dan
tetap mampu memberikan masa depan bagi anak-anaknya.
“Tanpa intervensi negara, perceraian bisa
memicu masalah sosial lanjutan, seperti anak putus sekolah atau menjadi beban
sosial,” tegasnya.
Pengamat ini juga menyoroti bahwa
tingginya angka perceraian tidak lepas dari kurangnya kesiapan mental dan
pemahaman pasangan terhadap peran masing-masing dalam keluarga.
“Kematangan mental dan spiritual penting
sebelum menikah. Pasangan harus saling memahami tanggung jawabnya. Perlu ada
kesalingan, atau mubadalah dalam berumah tangga: saling menghargai, memberi,
dan mengasihi,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya stabilitas
ekonomi. Suami sebagai kepala keluarga harus memiliki pekerjaan dan kemampuan
mengelola keuangan keluarga.
“Ekonomi adalah faktor dominan. Suami
yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar keluarga akan memicu konflik dan
potensi perceraian,” ujarnya.
Selain masalah ekonomi dan peran, Abdul
Qodir juga menyoroti pentingnya manajemen konflik dalam rumah tangga. Ia
menyebut konflik kecil yang tak diselesaikan bisa menjadi bom waktu yang
mengancam keutuhan keluarga.
“Komunikasi dan keterbukaan adalah kunci.
Jangan biarkan konflik menumpuk. Kalau sudah tidak mampu diselesaikan sendiri,
cari bantuan pihak ketiga,” tandasnya.
Untuk mencegah angka perceraian terus
meningkat, Abdul Qodir menyarankan adanya pendidikan keluarga dan program
konseling pranikah yang diperkuat oleh pemerintah dan lembaga keagamaan.
“Pasangan yang akan menikah perlu
dibekali wawasan tentang tanggung jawab, pengelolaan konflik, dan manajemen
ekonomi keluarga. Ini bisa jadi langkah preventif untuk menekan angka perceraian
ke depan,” pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Bank Lampung Tandatangani PKS KUB dengan Bank Jatim
Kamis, 07 Agustus 2025 -
Rektor UIN RIL Lantik Ketua dan Sekretaris Prodi serta Kepala UPT Perpustakaan
Kamis, 07 Agustus 2025 -
9.191 Siswa Madrasah Aliyah di Lampung Ikuti ANBK 2025
Kamis, 07 Agustus 2025 -
Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Teknokrat Indonesia Raih Prestasi Gemilang di Rimau Robotic Contest & Exhibition 2025
Kamis, 07 Agustus 2025