• Jumat, 08 Agustus 2025

Pengamat: Lonjakan Cerai Gugat di Lampung Cerminkan Ketimpangan Peran dalam Rumah Tangga

Kamis, 07 Agustus 2025 - 16.37 WIB
17

Pengamat Hukum Keluarga dari UIN Raden Intan Lampung, Abdul Qodir Zaelani. Foto: Ist

Sri

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pengamat Hukum Keluarga dari UIN Raden Intan Lampung, Abdul Qodir Zaelani, menyebut tren cerai gugat yang mendominasi sebagai sinyal kuat ketimpangan peran antara suami dan istri dalam rumah tangga.

Data dari Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Bandar Lampung mencatat, sepanjang Januari hingga Desember 2024 terdapat 17.081 perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan agama se-Lampung.

Dari jumlah tersebut, 13.865 perkara merupakan cerai gugat atau gugatan cerai dari pihak istri. Sementara cerai talak yang diajukan oleh suami hanya 3.216 perkara.

“Mayoritas yang menggugat cerai adalah perempuan. Ini menunjukkan banyak perempuan merasa tidak mendapatkan haknya dalam pernikahan, entah secara ekonomi, emosional, atau perlakuan,” kata Abdul Qodir, Kamis (7/8/2025).

Abdul Qodir mengungkapkan bahwa perceraian bukan hanya memutus ikatan hukum antara suami dan istri, tapi juga meninggalkan dampak sosial yang berat, terutama bagi perempuan. Menurutnya, status janda masih sering dipandang negatif oleh masyarakat, apalagi jika mereka tidak memiliki pekerjaan atau keterampilan.

“Ketika perempuan berstatus janda dan membawa anak, tanpa dukungan ekonomi yang cukup, dia rentan termarjinalkan secara sosial dan ekonomi,” jelasnya.

Ia mendorong pemerintah agar lebih aktif memberikan pelatihan keterampilan bagi para janda agar mereka bisa mandiri dan tetap mampu memberikan masa depan bagi anak-anaknya.

“Tanpa intervensi negara, perceraian bisa memicu masalah sosial lanjutan, seperti anak putus sekolah atau menjadi beban sosial,” tegasnya.

Pengamat ini juga menyoroti bahwa tingginya angka perceraian tidak lepas dari kurangnya kesiapan mental dan pemahaman pasangan terhadap peran masing-masing dalam keluarga.

“Kematangan mental dan spiritual penting sebelum menikah. Pasangan harus saling memahami tanggung jawabnya. Perlu ada kesalingan, atau mubadalah dalam berumah tangga: saling menghargai, memberi, dan mengasihi,” katanya.

Ia juga menekankan pentingnya stabilitas ekonomi. Suami sebagai kepala keluarga harus memiliki pekerjaan dan kemampuan mengelola keuangan keluarga.

“Ekonomi adalah faktor dominan. Suami yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar keluarga akan memicu konflik dan potensi perceraian,” ujarnya.

Selain masalah ekonomi dan peran, Abdul Qodir juga menyoroti pentingnya manajemen konflik dalam rumah tangga. Ia menyebut konflik kecil yang tak diselesaikan bisa menjadi bom waktu yang mengancam keutuhan keluarga.

“Komunikasi dan keterbukaan adalah kunci. Jangan biarkan konflik menumpuk. Kalau sudah tidak mampu diselesaikan sendiri, cari bantuan pihak ketiga,” tandasnya.

Untuk mencegah angka perceraian terus meningkat, Abdul Qodir menyarankan adanya pendidikan keluarga dan program konseling pranikah yang diperkuat oleh pemerintah dan lembaga keagamaan.

“Pasangan yang akan menikah perlu dibekali wawasan tentang tanggung jawab, pengelolaan konflik, dan manajemen ekonomi keluarga. Ini bisa jadi langkah preventif untuk menekan angka perceraian ke depan,” pungkasnya. (*)