• Selasa, 12 Agustus 2025

Royalti Lagu Bebani Pemilik Usaha di Lampung, PHRI Protes Televisi Ikut Kena Royalti

Selasa, 12 Agustus 2025 - 08.16 WIB
50

Sekretaris PHRI Lampung, Friandi Indrawan. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kebijakan penerapan royalti lagu bagi pemilik hotel, restoran, kafe, pub, dan usaha lainnya di Provinsi Lampung menuai sorotan. Para pelaku usaha menilai aturan ini justru menambah beban operasional di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Lampung memprotes kebijakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menerapkan tarif royalti terhadap televisi yang memutar lagu di dalam kamar hotel.

Sekretaris PHRI Lampung, Friandi Indrawan, menegaskan kebijakan ini tidak sesuai dengan perjanjian yang sebelumnya telah disepakati antara DPP PHRI dan LMKN.

Dalam kesepakatan tersebut, televisi yang berada di kamar hotel tidak dikategorikan sebagai alat pemutar ulang atau rebroadcast, sehingga tidak diwajibkan membayar royalti.

“Kami paham dan menghargai Undang-Undang Hak Cipta, tapi aturan ini harus jelas dan sesuai perjanjian. Kalau TV di kamar hotel dianggap sebagai alat rebroadcast lalu dihitung royalti per kamar, ini memberatkan pelaku usaha. Seharusnya kewajiban hanya untuk perangkat di ruang publik, seperti restoran, kafe, atau ruang fitnes,” kata Friandi, Senin (11/8/2025).

Friandi mengungkapkan, LMKN di daerah justru menerapkan tarif berdasarkan jumlah kamar hotel. Semakin banyak kamar, semakin besar pula nilai royalti yang harus dibayar. Menurutnya, kebijakan di tingkat pusat dan daerah tidak sinkron sehingga menimbulkan kebingungan di lapangan.

“Kami bukan menolak membayar royalti. Yang kami protes adalah perhitungan yang tidak sesuai kesepakatan. Kalau televisi di ruang publik mungkin wajar, tapi untuk televisi di dalam kamar, itu kan digunakan oleh tamu secara pribadi sebagai fasilitas hotel,” ungkapnya.

Selain itu, Friandi juga menyoroti aturan royalti untuk restoran yang dihitung berdasarkan jumlah kursi.

“Perhitungan seperti ini tidak masuk akal. Kalau terus dipaksakan, pelaku usaha sangat terbebani,” ujarnya.

Ia mengatakan, kebijakan penerapan royalti ini mengakibatkan sebagian pemilik hotel, restoran, dan kafe di Lampung mengurangi bahkan menghentikan penggunaan musik atau memutar lagu.

“Ada yang memilih tidak memutar musik atau lagu sama sekali, karena beban biaya terlalu tinggi,” kata Friandi.

Ia menyarankan agar aturan ini tidak diberlakukan secara kaku tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan.

“Kalau suara burung di alam dianggap sebagai musik, lalu siapa yang menerima royaltinya? Aturan ini perlu dirembuk ulang di tingkat pusat agar adil bagi semua pihak,” sarannya.

Untuk diketahui, penarikan royalti dari pemilik usaha yang memutar lagu di ruang publik mengacu pada UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Dalam Pasal 1 Angka 11 PP Nomor 56 Tahun 2021 disebutkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) adalah lembaga bantu pemerintah non-APBN yang dibentuk oleh Menteri berdasarkan Undang-Undang mengenai Hak Cipta yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.

Lalu, dalam Pasal 3 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN.

Dalam Ayat (12) disebutkan bahwa bentuk layanan publik yang bersifat komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi  seminar dan konferensi komersial; restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek; konser musik; pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut;
pameran dan bazar; bioskop; nada tunggu telepon; bank dan kantor; pertokoan; pusat rekreasi; lembaga penyiaran televisi; lembaga penyiaran radio; hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan
usaha karaoke.

Selanjutnya, juga mengacu pada Keputusan Menkumham Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Penggunaan yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu, serta Keputusan LMKN Nomor 20160512SKK/LMKN-Pleno/Tarif Royalti/2016.

Dalam Keputusan LMKN ini disebutkan, tarif royalti untuk bidang usaha jasa kuliner bermusik bagi restoran dan kafe adalah untuk royalti pencipta Rp60.000 per kursi/tahun dan royalti hak terkait Rp60.000 per kursi/tahun.

Kemudian, bidang usaha pub, bar, dan bistro untuk royalti pencipta Rp180.000 per m²/tahun dan royalti hak terkait Rp180.000 per m²/tahun.

Selanjutnya, bidang usaha diskotek dan klub malam untuk royalti pencipta Rp250.000 per m²/tahun dan royalti hak terkait Rp180.000 per m²/tahun. (*)