• Jumat, 15 Agustus 2025

Pemkab Tanggamus Larang Pengibaran Bendera One Piece di Ruang Publik dan Digital

Jumat, 15 Agustus 2025 - 14.34 WIB
31

Surat edaran Pemkab Tanggamus melarang pengibaran bendera One Piece. Foto: Sayuti/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Tanggamus – Pemerintah Kabupaten Tanggamus, Lampung, mengeluarkan larangan pengibaran dan penayangan bendera One Piece serta simbol bajak laut lainnya di ruang publik maupun media sosial.

Kebijakan ini tertuang dalam surat edaran Nomor 200.1.2.2/4148/47/2025 yang ditandatangani Sekretaris Daerah Kabupaten Tanggamus, Suaidi, atas nama Bupati Tanggamus, pada 13 Agustus 2025.

Dalam edaran tersebut, pemerintah daerah menyebutkan larangan ini bertujuan menjaga ketertiban umum, ketenteraman masyarakat, serta menghindari potensi gangguan keamanan.

Larangan berlaku di halaman rumah, tempat usaha, fasilitas umum, hingga kegiatan kemasyarakatan di wilayah masing-masing kecamatan.

Ketentuan ini juga mencakup media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, WhatsApp, dan platform daring lain, baik dalam bentuk foto, video, maupun konten digital lainnya.

Bagi warga yang telah mengibarkan atau menayangkan bendera diminta segera menurunkannya atau menghapus konten terkait.

“Kepala pekon dan lurah diminta melakukan pengawasan dan sosialisasi kepada masyarakat. Pelanggaran akan ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tulis edaran tersebut.

Meski demikian, kebijakan ini memunculkan tanggapan beragam di masyarakat. Sebagian warga menganggap larangan tersebut berlebihan mengingat bendera One Piece merupakan simbol dari karya fiksi.

Andi (32), warga Kotaagung, menilai larangan itu tidak perlu dibuat terlalu serius.

“Lucu saja. Itu kan bendera dari cerita kartun, bukan simbol kelompok berbahaya,” katanya.

Pendapat serupa disampaikan Dwi (28), pemilik kedai kopi di Kecamatan Gisting. Ia mengatakan bendera tersebut biasanya digunakan hanya sebagai hiasan atau penanda kesukaan pada cerita.

“Rasanya tidak ada ancaman apa pun. Pemerintah cukup mengimbau, tidak perlu sampai melarang total,” ujarnya.

Sejumlah warga berharap pemerintah dapat membedakan antara simbol fiksi dan simbol yang benar-benar berpotensi memicu konflik atau keresahan di masyarakat. (*)