Murdan dan Keluarga Menanti Program Bedah Rumah

Rumah panggung khas suku Lampung di Dusun Banding Baru, Pekon Kanyangan, Kecamatan Kotaagung Barat, Kabupaten Tanggamus. Foto: Sayuti/kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Tanggamus - Di Dusun Banding Baru, Pekon Kanyangan, Kecamatan Kotaagung Barat, Kabupaten Tanggamus, Lampung, berdiri sebuah rumah panggung khas suku Lampung.
Dari kejauhan, bangunan itu tampak ringkih, seakan berjuang menahan waktu. Dinding papan yang telah menghitam, atap seng berkarat, serta lantai kayu yang rapuh menjadi saksi bisu kehidupan sederhana lima jiwa yang tinggal di dalamnya.
Rumah itu milik Murdan (69), seorang pekebun tua yang menghabiskan masa senjanya bersama istri, Hayana; anaknya, Hasron; menantu, Haniah; serta cucunya, Mad Hasim.
Bangunan yang seharusnya kokoh di atas tiang kayu itu kini sebagian besar lapuk dan bolong. Setiap kali hujan turun, bocoran dari atap membuat lantai basah, sementara bila angin kencang berhembus, rumah berderit menakutkan.
Lantai atas rumah panggung itu hampir ditinggalkan. Papan-papan yang keropos terasa bergoyang bila diinjak, suara berderitnya seakan menjadi tanda bahaya.
"Kalau ke atas, rasanya seperti mau jatuh. Kami lebih sering di bawah saja. Naik ke atas hanya sesekali, kalau anak saya pulang,” ujar Murdan lirih.
Bagian bawah rumah, atau yang biasa disebut kolong yang umumnya digunakan masyarakat Lampung untuk menyimpan kayu bakar, hasil panen, atau bahkan sebagai kandang ternak, kini disulap oleh Murdan menjadi ruang kehidupan. Di situlah keluarga ini tidur, memasak, berkumpul, dan melakukan seluruh aktivitas sehari-hari.
Namun, ruang kolong itu jauh dari kata nyaman. Lantainya masih berupa tanah: dingin saat malam, berdebu saat kemarau, dan berubah becek ketika hujan. Bau kotoran kucing sering tercium menusuk hidung, menambah kesan getir di ruang sempit yang dipaksa menjadi tempat tinggal.
Agar kolong bisa ditinggali, Murdan menutup sisi-sisinya dengan seng bekas, pelupuh bambu, dan papan seadanya. Untuk menahan rembesan air hujan dan bubuk kayu dari lantai atas, ia memasang plastik serta menyulap bekas kantong semen menjadi plafon darurat.
Sebuah pintu sederhana dari bilah bambu dipasang di bagian depan sebagai jalan masuk, dengan tiang pintu yang kayunya sudah sangat lapuk hingga harus ditempel dengan potongan kayu kecil agar tidak patah.
Di dalam kolong itu, sebuah motor tua terparkir rapi, harta berharga satu-satunya milik Murdan. Beberapa kursi plastik yang lusuh tampak disandarkan di sudut ruangan, dan satu meja kayu tua. Semua perabotan sederhana itu menjadi saksi ketabahan keluarga yang tetap bertahan di tengah keterbatasan.
“Kalau hujan deras, kami sibuk memindahkan barang-barang supaya tidak basah. Saya ingin sekali memperbaiki rumah ini, tapi hasil kebun hanya cukup untuk makan sehari-hari,” ucap Murdan, suaranya parau namun pasrah.
Tetangga mereka, Suhaili, mengaku sering merasa cemas. "Kalau ada angin besar, rumah itu seperti mau roboh. Bunyi deritnya terdengar sampai ke rumah kami. Kami berharap ada perhatian pemerintah, supaya keluarga Pak Murdan bisa hidup dengan aman dan layak,” ujarnya.
Bagi masyarakat Lampung, rumah panggung bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah simbol kearifan lokal dan harmoni dengan alam.
Kolong rumah yang terbuka mencerminkan filosofi keterhubungan manusia dengan bumi, sebagai ruang penyimpanan hasil kerja keras, sekaligus perlindungan dari banjir, binatang buas, dan udara lembap.
Rumah panggung juga menjadi simbol gotong royong, karena dahulu pembangunannya melibatkan seluruh warga kampung.
Namun, rumah panggung Murdan kini kehilangan sebagian makna itu. Kolong yang seharusnya menjadi ruang penyimpanan hasil panen, berubah menjadi ruang sempit untuk bertahan hidup.
Atap yang mestinya melindungi kini justru membawa kebocoran, sementara lantai tanah berbau kotoran kucing menambah getir kehidupan.
Di balik papan lapuk dan atap bocor, Murdan dan keluarganya tetap menyulam harapan. Sang cucu, Mad Hasim, tumbuh besar di rumah panggung yang kehilangan wibawanya di kolong sempit yang telah berubah menjadi dunia kecil keluarga itu.
Di sanalah, dengan segala keterbatasan, mereka menjaga api kehidupan sambil menanti uluran tangan yang bisa mengembalikan makna sejati sebuah rumah panggung: tempat yang aman, teduh, dan penuh martabat. (*)
Berita Lainnya
-
Ratusan Pelajar Meriahkan Karnaval HUT ke-80 RI di Kotaagung Tanggamus
Selasa, 19 Agustus 2025 -
80 Tahun Merdeka, 9 Pekon di Pematangsawa Tanggamus Masih ‘Belum Merdeka’ dari Keterisolasian
Minggu, 17 Agustus 2025 -
Upacara HUT ke-80 RI, Ribuan Warga Padati Lapangan Merdeka Kutaagung Tanggamus
Minggu, 17 Agustus 2025 -
Polres Tanggamus Mulai Selidiki Dugaan Peredaran Beras Oplosan
Sabtu, 16 Agustus 2025