• Selasa, 26 Agustus 2025

Sandang Predikat Kota Pendidikan, Seperempat Penduduk Metro Tak Sekolah

Selasa, 26 Agustus 2025 - 13.33 WIB
104

Wakil Wali Kota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana saat diwawancarai awak media. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Predikat Kota Pendidikan yang selama ini diagungkan Pemerintah Kota Metro ternyata menyimpan paradoks. Wakil Wali Kota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana membuka data mencengangkan, hampir seperempat penduduk Metro tidak pernah mengenyam bangku sekolah.

“Metro ini Kota Pendidikan, tapi faktanya masih ada 24,83 persen warga tidak bersekolah. Bayangkan, seperempat orang di Metro tidak sekolah,” kata Rafieq kepada awak media, Selasa (26/8/2025)

Angka itu menjadi tamparan keras bagi sebuah kota yang kerap menjual citra sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kampus di Lampung. Lebih ironis lagi, dari 15 perguruan tinggi yang berdiri di Metro, lulusan strata satu (S1) hanya 9 persen, sementara lulusan strata dua (S2) dan strata tiga (S3) tidak sampai 1 persen.

Rafieq membeberkan rincian yang memperlihatkan wajah pendidikan Metro yang retak. Dimana 6 persen warga tidak lulus SD, 12 persen hanya berhenti di SD. Kemudian 15,5 persen berhenti di SMP dan 27,68 persen berhasil menamatkan SMA.

Lalu, angka yang dianggap kebanggaan Metro yaitu lulusan Diploma yang jumlahnya hanya 1 hingga 2 persen. Selanjutnya lulusan S1 yang hanya sekitar 9 persen.

“Ini ironi besar. Bagaimana mungkin sebuah kota dengan kampus melimpah, tapi angka lulusan tinggi kita begitu rendah,” ujarnya.

Data itu menunjukkan, keberhasilan Metro sebagai Kota Pendidikan lebih banyak bersandar pada tingginya lulusan SMA, sementara akses ke pendidikan tinggi masih menjadi mimpi bagi sebagian besar warganya.

Masalah putus sekolah juga menyeruak. Menurut Rafieq, tingginya lulusan SMA dibanding SMP dan SD menunjukkan ada persoalan serius di pendidikan dasar dan menengah.

“Kita harus cari tahu di mana anak-anak putus. Kalau angka SMA tinggi tapi SD dan SMP rendah, artinya ada masalah di pondasi awal,” ucapnya.

Menurut Wakil Wali Kota, Pendidikan yang timpang tersebut bukan sekadar soal fasilitas, melainkan mindset masyarakat yang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintah.

“Salah satu PR terbesar kita adalah membangun kesadaran bahwa sekolah membuka banyak pintu peluang. Kalau mindset ini tidak dibenahi, label Kota Pendidikan hanya akan menjadi slogan kosong," paparnya.

Selain kualitas akademik, Rafieq menyoroti pentingnya pendidikan karakter. Ia menyebut, ketertiban hukum perlu ditanamkan sejak dini.

“Anak-anak kita harus belajar melindungi diri sendiri dan temannya. Jangan menyakiti orang lain, apalagi diri sendiri,” katanya.

Tak hanya itu, ia bahkan menginstruksikan para guru dan kepala sekolah agar lebih waspada terhadap jajanan sekolah guna mengantisipasi zat berbahaya didalamnya.

“Minimal periksa jajanan yang dijual. Jangan sampai ada yang mengandung narkoba atau zat berbahaya,” tambahnya.

Selama bertahun-tahun, Metro menjual citra sebagai Kota Pendidikan. Julukan itu tercetak di baliho, hingga sambutan pejabat. Tapi di balik slogan itu, fakta yang diungkap Rafieq justru memperlihatkan kesenjangan mendasar antara retorika dan kenyataan.

Angka-angka pendidikan Metro menyeret publik pada pertanyaan kritis, apakah Pemkot Metro benar-benar serius membangun pendidikan atau sekadar membungkus kelemahan dengan jargon.

Tanpa perbaikan nyata, mulai dari fondasi pendidikan dasar, akses ke perguruan tinggi, hingga membangun kesadaran masyarakat Metro berisiko kehilangan makna di balik julukan yang selama ini diagungkan.

“Fondasi kita rapuh. Kalau tidak segera kita benahi, Kota Pendidikan hanya tinggal papan nama, bukan realitas,” tandasnya. (*)