• Kamis, 04 September 2025

Aspirasi yang Tersumbat Menjadi Bara yang Menyala, Oleh: Donald Harris Sihotang

Senin, 01 September 2025 - 10.42 WIB
45

Dr. Donald Harris Sihotang, S.E., M.M, CEO Kupas Tuntas Grup, yang juga Dosen Magister Manajemen Pasca Sarjana Universitas Saburai Bandar Lampung. Foto: Dok.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Aksi demonstrasi yang meletup sejak 25 Agustus 2025 memasuki fase yang mengkhawatirkan. Dari Jakarta hingga Lampung, dari Jawa Barat hingga Makassar, jalanan dipenuhi massa yang menyuarakan ketidakpuasan.

Sayangnya, tidak semua berjalan damai. Di sejumlah titik, aksi berubah menjadi anarkis, merusak fasilitas umum, membakar kendaraan, bahkan menjarah rumah tokoh publik dan pejabat negara.

Rumah politisi seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, artis Nafa Urbach, hingga kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani dilaporkan menjadi sasaran.

Fenomena ini bukan sekadar ekspresi spontan, tetapi tanda rapuhnya fondasi sosial-ekonomi bangsa. Ketika rumah pejabat menjadi pelampiasan amarah, sesungguhnya rakyat tengah menyampaikan pesan bahwa saluran formal aspirasi sudah kehilangan legitimasi.

Demonstrasi yang bergeser menjadi penjarahan adalah alarm serius. Itu pertanda bahwa masyarakat tidak lagi percaya mekanisme normal bisa menjawab keresahan mereka. Tekanan harga pangan, lapangan kerja yang terbatas, serta jurang ketimpangan yang melebar, mendorong amarah rakyat ke titik didih.

Secara sosiologis, literatur klasik menyebut fenomena ini sebagai fase awal revolusi sosial. Ketika kebutuhan dasar tak terpenuhi, sementara elite justru mempertontonkan kemewahan, potensi letupan besar tak bisa dianggap enteng. Negara seperti duduk di atas bara.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah menghadapi ujian. Ini bukan semata ujian stabilitas keamanan, melainkan juga ujian moral, apakah pemerintah mampu hadir sebagai pelayan publik yang berempati, atau sekadar penguasa yang mempertahankan simbol wibawa tanpa menyentuh akar persoalan.

Beberapa bulan terakhir, publik disuguhi serangkaian blunder. Mulai dari pembagian kursi kekuasaan yang tampak hanya mengakomodasi elite, gaya hidup mewah pejabat di tengah krisis, hingga pernyataan-pernyataan yang tidak menunjukkan sense of crisis. Semua ini memperdalam luka sosial.

Saat rakyat antre BBM, pejabat sibuk memamerkan koleksi mobil mahal. Saat keluarga kesulitan membayar biaya sekolah dan berobat, parlemen justru menaikkan gaji sendiri. Kontras semacam ini menyalakan api ketidakpercayaan.

Tidak heran bila aksi yang awalnya menuntut kebijakan, kini menjelma ekspresi kemarahan kolektif. Tuntutan yang diabaikan, janji yang tidak ditepati, serta arogansi komunikasi elit menjadi bahan bakar perlawanan.

Kemarahan ini bukan soal satu kebijakan. Ia adalah akumulasi kekecewaan Panjang, harga beras yang melonjak, kesempatan kerja yang minim, hingga polemik putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang dianggap sarat kepentingan politik.

Di Lampung, aksi Aliansi Lampung Melawan pada 1 September 2025 menjadi cermin keresahan nasional. Mereka mengusung 13 tuntutan, mulai dari pengesahan UU Perampasan Aset, pemotongan gaji DPR, penghentian rangkap jabatan, reformasi kepolisian, hingga keadilan agraria. Itu bukan sekadar daftar, melainkan jeritan rakyat yang lama terabaikan.

Jika kanal aspirasi ini tidak ditangkap bijak, jalanan akan tetap bergolak. Bahkan, potensi benturan fisik makin besar. Pemerintah harus sadar, rakyat tidak sedang bermain-main.

Namun rakyat pun perlu memahami, anarki justru merugikan diri sendiri. Menjarah rumah warga, merusak kantor atau membakar fasilitas publik hanya akan menambah penderitaan di tengah krisis. Itu bukan solusi, melainkan luka baru.

Sejarah mengajarkan, revolusi yang lahir dari anarki lebih sering meninggalkan trauma ketimbang perubahan. Protes boleh, marah sah, tapi jangan sampai mencederai sesama rakyat. Karena yang diperjuangkan adalah keadilan, bukan kehancuran.

Demonstrasi adalah hak konstitusional. Tapi anarki bukan. Menjaga aksi tetap damai adalah syarat agar suara rakyat tetap terdengar, bukan tenggelam dalam stigma kekerasan.

Solusi harus datang dari dua arah. Dari pemerintah, kebijakan nyata, bukan janji. Dari massa, komitmen menjaga ketertiban. Tanpa keseimbangan ini, ketegangan akan terus berulang.

Langkah pertama yang mendesak adalah de-eskalasi terstruktur. Pemerintah harus membentuk forum dialog nasional lintas spektrum, dari ulama, guru besar, budayawan, serikat buruh, tokoh adat, hingga perwakilan demonstran. Forum ini harus menghasilkan kebijakan konkret, bukan sekadar seremoni politik.

Kedua, evaluasi pengamanan aksi. Transparansi SOP pengamanan akan mengembalikan kepercayaan bahwa hukum melindungi rakyat, bukan menakuti mereka.

Ketiga, refocusing anggaran. Belanja nonesensial harus ditunda, proyek mercusuar ditahan, dan sumber daya dialihkan ke stabilisasi pangan, lapangan pekerjaan. Rakyat butuh bukti, bukan retorika.

Keempat, percepatan distribusi beras pemerintah. Data stok yang katanya menembus 3,7–4 juta ton hanya berarti jika segera masuk ke pasar dan menurunkan harga. Operasi pasar dan digital tracking distribusi harus dipercepat, disertai sanksi tegas bagi penimbun.

Kelima, tata kelola Program Makan Bergizi Gratis harus transparan. Publik perlu dashboard terbuka tentang penerima, lokasi, standar gizi, dan progres distribusi. Integrasi dengan dapur komunitas berbasis padat karya akan memperkuat ketahanan sosial sekaligus menyerap tenaga kerja.

Keenam, transparansi remunerasi pejabat negara. Gaji, tunjangan, dan fasilitas DPR, menteri, serta komisaris BUMN harus dibuka ke publik. Keterbukaan ini adalah vaksin terhadap sinisme.

Ketujuh, percepatan legislasi pro-rakyat seperti UU Perampasan Aset. Namun harus diproses terbuka, berbasis data, dan bebas dari manipulasi politik.

Kedelapan, reformasi penegakan hukum. Kasus pelanggaran oleh aparat dalam pengamanan aksi harus diusut tuntas. Kredibilitas hukum hanya terbangun bila aparat yang salah juga dihukum.

Kesembilan, revisi legislasi kontroversial seperti RKUHAP dengan mekanisme partisipasi publik yang luas. Pasal demi pasal harus disosialisasikan, disanggah, lalu direvisi sesuai masukan. Demokrasi substansial hanya lahir dari keterbukaan.

Kesepuluh, reforma agraria nyata. Audit lahan tidur, redistribusi tanah bagi petani kecil, dan sertifikasi murah adalah syarat menekan konflik struktural di pedesaan.

Di sisi masyarakat, aksi massa harus berpegang pada ketertiban. Jaga kedamaian, hindari anarki. Energi kolektif jauh lebih efektif bila diarahkan pada advokasi kebijakan ketimbang perusakan sosial.

Kepemimpinan yang dibutuhkan hari ini adalah kepemimpinan yang berempati. Pemimpin harus berani turun ke lapangan, mendengar langsung rakyat, dan mencopot pejabat yang gagal. Amanah jabatan bukan untuk dinikmati, melainkan untuk memperjuangkan rakyat.

Jika pejabat tidak mampu, mundur secara ksatria jauh lebih terhormat daripada bertahan sambil mengabaikan penderitaan rakyat. Krisis ini adalah alarm keras. Bila ditangani dengan kebijakan konkret, transparansi, dan empati, suhu bisa mereda. Bila diabaikan atau dijawab dengan represi, gelombang massa bisa semakin meluas.

Kita jaga satu prinsip, perubahan besar bisa lahir dari kecerdasan kolektif, bukan dari anarki yang melukai. Demonstrasi adalah hak, anarki adalah jebakan. Kita sedang menulis sejarah. Pilihannya, sejarah luka, atau sejarah kebangkitan. (*)