Korupsi Kepala Daerah di Lampung, Cermin Gagalnya Kaderisasi Parpol dan Mahalnya Biaya Politik

Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Candrwansah. Foto: Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Provinsi Lampung mencatatkan sejarah
kelam dalam dua dekade terakhir, dengan tujuh kepala daerah terjerat kasus
korupsi. Fenomena ini menjadi sorotan tajam, tak hanya karena dampaknya
terhadap pembangunan, tetapi juga sebagai indikasi kegagalan partai politik dan
suburnya praktik politik transaksional.
Beberapa kepala daerah yang pernah tersandung kasus korupsi di Lampung
antara lain:
* Kasus suap proyek (fee infrastruktur):
Khamami (Mesuji), Zainudin Hasan (Lampung Selatan), Agung Ilmu
Mangkunegara (Lampung Utara), dan Mustafa (Lampung Tengah).
* Kasus gratifikasi dan suap APBD/DPRD:
Bambang Kurniawan (Tanggamus), dan
Mustafa (Lampung Tengah).
* Mark-up dan penyalahgunaan APBD:
Satono (Lampung Timur), Wendy
Melfa (Lampung Selatan).
* Tindak pidana pencucian uang (TPPU):
Zainudin Hasan dan Agung Ilmu Mangkunegara.
* Terbaru, Arinal Djunaidi (mantan Gubernur Lampung), diperiksa sebagai
saksi dalam dugaan kasus korupsi dana Participating Interest (PI) Migas.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah
Lampung (UML), Candrwansah, menyebut bahwa tingginya angka kepala daerah yang
tersangkut korupsi merupakan cerminan dari kegagalan partai politik dalam
menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen calon pemimpin yang berintegritas.
"Partai politik seharusnya menyiapkan kader sejak awal. Bukan kader
karbitan yang hanya muncul saat Pilkada, atau karena faktor popularitas. Ini
yang menyebabkan kepala daerah mudah tergelincir dalam praktik korupsi,"
ujarnya, Senin (8/9/2025).
Menurut Candrwansah, parpol memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga
kualitas demokrasi, termasuk dalam memastikan bahwa calon kepala daerah adalah
sosok yang layak, bersih, dan memiliki rekam jejak yang baik.
Candrwansah juga menyoroti persoalan mendasar lainnya: mahalnya biaya
politik, yang mendorong kepala daerah mencari cara instan untuk menutup
pengeluaran kampanye setelah terpilih.
“Calon kepala daerah kerap terjebak dalam hutang politik dan mahar
parpol. Setelah menjabat, mereka merasa harus ‘mengembalikan modal’, dan
akhirnya tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan,” jelasnya.
Ia menambahkan, mahar politik sering kali berbentuk "pembelian
perahu" atau dukungan partai untuk pencalonan, sedangkan hutang politik
biasanya berupa dana kampanye yang ditopang pihak ketiga, yang kemudian
menuntut balas jasa dalam bentuk proyek atau kebijakan.
"Inilah akar persoalan. Saat kekuasaan digunakan sebagai alat untuk
membayar utang politik, maka integritas dan kepentingan publik otomatis
dikorbankan,” tegasnya.
Dengan terus berulangnya kasus korupsi kepala daerah, Candrwansah menilai
reformasi politik dan tata kelola Pilkada menjadi sangat mendesak. Ia mendorong
parpol memperkuat sistem kaderisasi dan mendorong pembiayaan politik yang lebih
transparan dan legal.
“Jika pola lama terus dipertahankan mahalnya biaya politik, lemahnya
kaderisasi, dan minimnya integritas maka jangan heran bila kepala daerah ke
depan kembali tersandung kasus korupsi,” pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Sah! Hanan A Rozak Terpilih Aklamasi Jadi Ketua Golkar Lampung
Minggu, 31 Agustus 2025 -
Dikawal 15 DPD Golkar Kabupaten/Kota, Hanan A Rozak Daftar Calon Ketua Golkar Lampung
Sabtu, 30 Agustus 2025 -
Ardito Wijaya Gabung Golkar, Dinilai sebagai Manuver Politik Menuju Penguasaan Legislatif
Sabtu, 30 Agustus 2025 -
Nasdem Copot Sahroni dari Pimpinan Komisi III DPR
Jumat, 29 Agustus 2025