• Senin, 08 September 2025

Korupsi Kepala Daerah di Lampung, Cermin Gagalnya Kaderisasi Parpol dan Mahalnya Biaya Politik

Senin, 08 September 2025 - 13.57 WIB
37

Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Candrwansah. Foto: Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Provinsi Lampung mencatatkan sejarah kelam dalam dua dekade terakhir, dengan tujuh kepala daerah terjerat kasus korupsi. Fenomena ini menjadi sorotan tajam, tak hanya karena dampaknya terhadap pembangunan, tetapi juga sebagai indikasi kegagalan partai politik dan suburnya praktik politik transaksional.

Beberapa kepala daerah yang pernah tersandung kasus korupsi di Lampung antara lain:

* Kasus suap proyek (fee infrastruktur):

Khamami (Mesuji), Zainudin Hasan (Lampung Selatan), Agung Ilmu Mangkunegara (Lampung Utara), dan Mustafa (Lampung Tengah).

* Kasus gratifikasi dan suap APBD/DPRD:

 Bambang Kurniawan (Tanggamus), dan Mustafa (Lampung Tengah).

* Mark-up dan penyalahgunaan APBD:

 Satono (Lampung Timur), Wendy Melfa (Lampung Selatan).

* Tindak pidana pencucian uang (TPPU):

Zainudin Hasan dan Agung Ilmu Mangkunegara.

* Terbaru, Arinal Djunaidi (mantan Gubernur Lampung), diperiksa sebagai saksi dalam dugaan kasus korupsi dana Participating Interest (PI) Migas.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Candrwansah, menyebut bahwa tingginya angka kepala daerah yang tersangkut korupsi merupakan cerminan dari kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen calon pemimpin yang berintegritas.

"Partai politik seharusnya menyiapkan kader sejak awal. Bukan kader karbitan yang hanya muncul saat Pilkada, atau karena faktor popularitas. Ini yang menyebabkan kepala daerah mudah tergelincir dalam praktik korupsi," ujarnya, Senin (8/9/2025).

Menurut Candrwansah, parpol memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kualitas demokrasi, termasuk dalam memastikan bahwa calon kepala daerah adalah sosok yang layak, bersih, dan memiliki rekam jejak yang baik.

Candrwansah juga menyoroti persoalan mendasar lainnya: mahalnya biaya politik, yang mendorong kepala daerah mencari cara instan untuk menutup pengeluaran kampanye setelah terpilih.

“Calon kepala daerah kerap terjebak dalam hutang politik dan mahar parpol. Setelah menjabat, mereka merasa harus ‘mengembalikan modal’, dan akhirnya tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan,” jelasnya.

Ia menambahkan, mahar politik sering kali berbentuk "pembelian perahu" atau dukungan partai untuk pencalonan, sedangkan hutang politik biasanya berupa dana kampanye yang ditopang pihak ketiga, yang kemudian menuntut balas jasa dalam bentuk proyek atau kebijakan.

"Inilah akar persoalan. Saat kekuasaan digunakan sebagai alat untuk membayar utang politik, maka integritas dan kepentingan publik otomatis dikorbankan,” tegasnya.

Dengan terus berulangnya kasus korupsi kepala daerah, Candrwansah menilai reformasi politik dan tata kelola Pilkada menjadi sangat mendesak. Ia mendorong parpol memperkuat sistem kaderisasi dan mendorong pembiayaan politik yang lebih transparan dan legal.

“Jika pola lama terus dipertahankan mahalnya biaya politik, lemahnya kaderisasi, dan minimnya integritas maka jangan heran bila kepala daerah ke depan kembali tersandung kasus korupsi,” pungkasnya. (*)