• Rabu, 10 September 2025

Mahasiswa di Persimpangan: Antara Tuntutan Akademik, Arus Informasi, dan Suara Perubahan, Oleh: Koderi

Rabu, 10 September 2025 - 08.12 WIB
98

Koderi, Dosen dan Pengamat Pendidikan Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Mahasiswa selalu berdiri di garda depan perubahan. Mulai tahun 1966, 1998, hingga aksi-aksi terbaru tahun 2025 ini, sejarah mencatat suara mahasiswa mampu mengguncang kekuasaan. Namun kini, generasi mahasiswa berada di persimpangan jalan: dihadapkan pada derasnya arus informasi, tajamnya polarisasi politik, dan dilema antara tuntutan akademik serta panggilan aktivisme.

Arus Informasi yang Membingungkan

Era digital membuat mahasiswa tak bisa lepas dari derasnya informasi. Media sosial menjadi sumber utama berita, opini, bahkan agitasi. Survei Katadata Insight Center (2023) menunjukkan 56% anak muda pernah menyebarkan hoaks tanpa sadar. Sementara riset terbaru UNICEF Indonesia (2024) menegaskan bahwa literasi digital anak muda Indonesia masih tergolong rendah dibanding negara Asia Tenggara lain.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah mahasiswa masih mampu menjadi pembaca kritis, atau justru hanyut dalam euforia informasi tanpa analisis mendalam? Pada titik inilah, critical thinking dan literasi digital menjadi kunci. Mahasiswa harus melatih diri bukan hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga produsen pengetahuan yang jernih dan bisa dipertanggungjawabkan.

Polarisasi Politik: Risiko Kehilangan Independensi

Survei Indikator Politik Indonesia (2023) mencatat 77,6% masyarakat menilai politik kita telah sangat terpolarisasi. Polarisasi ini tak luput menyentuh kampus. Gerakan mahasiswa sering dituduh ditunggangi kepentingan politik, bahkan terpecah sesuai garis ideologi nasional.

Padahal, nilai moral tertinggi mahasiswa adalah independensi. Suara mereka kuat justru karena bebas dari kepentingan praktis. Kehilangan independensi berarti kehilangan legitimasi di mata rakyat. Untuk itu, mahasiswa perlu menjaga agar sikap kritis tetap berbasis data, riset akademis, dan suara nurani masyarakat.

Dilema Akademik dan Aktivisme

Banyak orang tua dan dosen khawatir ketika mahasiswa lebih sering turun ke jalan daripada duduk di kelas. Kekhawatiran itu tidak sepenuhnya salah. Studi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (2024) menemukan manajemen waktu yang buruk berkorelasi dengan meningkatnya prokrastinasi akademik.

Namun, aktivisme bukan musuh akademik. Jika dikelola dengan baik, aktivisme justru menjadi laboratorium demokrasi: melatih kepemimpinan, keberanian, dan kepekaan sosial. Jalan tengahnya adalah menjadikan advokasi sebagai bagian dari riset, publikasi, atau kegiatan ilmiah. Dengan begitu, mahasiswa tetap berprestasi di kelas sekaligus hadir di ruang publik.

Harapan di Tengah Persimpangan

Kekhawatiran dosen, orang tua, dan masyarakat terhadap mahasiswa sangat wajar. Tetapi membungkam aktivisme bukanlah solusi. Justru melalui aktivisme yang kritis dan independen, mahasiswa bisa memperkuat demokrasi. Sementara melalui prestasi akademik, mereka menyiapkan diri menjadi pemimpin masa depan yang cerdas.

Bangsa ini pernah lahir kembali dari keberanian mahasiswa. Kini, generasi baru ditantang bukan hanya untuk turun ke jalan, tetapi juga untuk menguasai ruang akademik dan digital. Hanya dengan itu, suara mahasiswa akan terus bergema sebagai suara perubahan yang mencerahkan. (**)