Dugaan Korupsi Dana PI Menyeret Arinal Djunaidi, Pengamat: Penyidik Jangan Jadi Pembuat Gaduh Tanpa Hasil

Pengamat Hukum dari Universitas Lampung, Dr. Yusdiyanto, S.H., M.H., Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Lampung kini tengah menyidik kasus dugaan korupsi dana participating interest (PI) 10 persen pada Wilayah Kerja Offshore South East Sumatra (WK OSES).
Dalam kasus ini, Gubernur Lampung periode 2019–2024, Arinal Djunaidi (AD), ikut terseret dengan status sebagai saksi. Sejumlah aset miliknya disita oleh Kejati, terdiri atas Rp3,5 miliar (7 unit kendaraan), Rp1,29 miliar (logam mulia 645 gram), Rp1,36 miliar (uang tunai rupiah dan asing), Rp4,40 miliar (deposito di beberapa bank), serta Rp28,04 miliar (29 sertifikat hak milik), dengan total senilai Rp38.588.545.675.
Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum dari Universitas Lampung, Dr. Yusdiyanto, S.H., M.H., meminta Kejati Lampung untuk tidak hanya membuat kegaduhan lewat penyitaan aset besar tanpa hasil akhir yang jelas.
Ia mencontohkan kasus dugaan korupsi KONI Lampung, di mana Agus Nompitu (AN) menang dalam praperadilan meski telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati.
"Saya mengingatkan, jangan sampai penyidik hanya menjadi pembuat gaduh tanpa hasil, seperti pada kasus yang kalah di praperadilan,” ujar Yusdiyanto, Minggu (14/9/2025).
“Semestinya kejaksaan belajar dari perkara praperadilan AN, yang dalilnya menyebut kejaksaan tidak profesional karena tidak menjalankan kewajiban sebagaimana diatur KUHAP,” lanjutnya.
Terkait penyitaan barang bukti oleh Kejati, Yusdiyanto menjelaskan bahwa meski seseorang masih berstatus saksi, jaksa diperkenankan menyita aset bila ada dugaan keterkaitannya dengan tindak pidana yang sedang disidik.
"Secara hukum, proses penyitaan dimulai dari menelaah arti penyitaan itu sendiri. Penyitaan adalah tindakan hukum untuk menguasai sementara barang yang diduga berkaitan dengan tindak pidana,” jelasnya.
Hal ini, lanjut Yusdiyanto, telah diatur dalam KUHAP Pasal 38–46. Dengan demikian, penyitaan dapat dilakukan meskipun pemilik barang masih berstatus saksi, karena barang yang disita dianggap terkait dengan perkara, bukan berarti yang bersangkutan otomatis menjadi tersangka.
Yusdiyanto juga menjelaskan bahwa seseorang yang awalnya berstatus saksi bisa saja kemudian ditetapkan sebagai tersangka apabila ditemukan minimal dua alat bukti sah (Pasal 184 KUHAP) yang mengaitkan dirinya dengan tindak pidana, termasuk jika terbukti aset yang disita berasal dari atau dibeli dengan hasil kejahatan.
“Pemilik aset dapat ditetapkan sebagai tersangka jika terbukti mengetahui, turut serta, menyembunyikan, atau menikmati hasil korupsi tersebut. Namun, jika penyitaan dilakukan dengan prosedur yang keliru, saksi bisa mengajukan praperadilan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yusdiyanto menilai ada enam kemungkinan penyebab Kejati cenderung lamban dalam menangani kasus ini.
"Pertama, penyidik berhati-hati dalam pembuktian. Kedua, ada strategi tertentu. Ketiga, banyak saksi yang harus diperiksa. Keempat, keterbatasan personel. Kelima, pengaruh politik, kepentingan, atau tekanan eksternal. Keenam, prinsip kehati-hatian agar tidak kalah lagi dalam praperadilan,” urainya.
Untuk itu, ia menyarankan agar Kejati Lampung menangani perkara ini secara profesional.
"Saya menyarankan agar kejaksaan menuntaskan perkara ini dengan tunduk pada KUHAP, menghormati hak saksi, serta bekerja secara objektif, transparan, berkeadilan, dan berkepastian hukum,” tutupnya. (*)
Berita Lainnya
-
KPK Endus Persekongkolan Tersangka Korupsi Lahan Jalan Tol Trans Sumatera
Minggu, 14 September 2025 -
Menag Berharap UIN Raden Intan Lampung Dapat Jadi Rumah Peradaban
Minggu, 14 September 2025 -
Pelari dari Berbagai Daerah Meriahkan Azana Run 2025 di Stadion Pahoman Bandar Lampung
Minggu, 14 September 2025 -
Bawaslu Harus Diperkuat sebagai Penjaga Integritas Demokrasi
Minggu, 14 September 2025