• Selasa, 16 September 2025

Yusdianto: Putusan Praperadilan Agus Nompitu Harus Jadi Evaluasi Kejati Lampung

Selasa, 16 September 2025 - 08.06 WIB
26

Pengamat hukum Universitas Lampung, Yusdianto. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pengamat hukum Universitas Lampung, Yusdianto, menyebut putusan praperadilan Agus Nompitu harus menjadi pelajaran penting bagi Kejati Lampung untuk melakukan evaluasi. Mengingat, saat ini Kejati sedang menangani sejumlah kasus korupsi yang menyita perhatian masyarakat Lampung.

Yusdianto mengingatkan Kejati Lampung agar tidak hanya membuat kegaduhan dengan melakukan gebrakan penyitaan aset bernilai puluhan miliar, namun tanpa hasil.

"Kejati Lampung bisa berkaca pada kasus dugaan korupsi dana hibah KONI Provinsi Lampung, di mana Agus Nompitu (AN) menang praperadilan meskipun sudah dijadikan tersangka oleh Kejati,” kata Yusdianto, Minggu (14/9/2025).

"Saya mengingatkan jangan sampai penyidik hanya menjadi pembuat gaduh tanpa hasil, seperti kasus yang kalah di praperadilan,” lanjutnya.

Menurut Yusdianto, semestinya kejaksaan belajar dari perkara praperadilan Agus Nompitu, yang dalilnya menyebutkan bahwa kejaksaan tidak profesional karena tidak menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam KUHAP.

Ia menjelaskan, terkait penyitaan barang bukti oleh Kejati meskipun seseorang masih berstatus saksi, kejaksaan diperkenankan melakukannya apabila ada dugaan keterkaitan dengan tindak pidana yang sedang disidik.

"Secara hukum, proses penyitaan yang dilakukan Kejati dapat dimulai dengan menelaah kasusnya. Penyitaan adalah tindakan hukum untuk menguasai sementara barang yang diduga berkaitan dengan tindak pidana,” ujarnya.

"Hal ini diatur dalam KUHAP Pasal 38-46. Jadi, penyitaan bisa dilakukan meskipun pemilik atau penguasa barang masih berstatus saksi, karena yang disita adalah benda yang diduga penyidik berhubungan dengan perkara, bukan otomatis penetapan tersangka,” sambungnya.

Yusdianto menerangkan, seseorang yang ditetapkan sebagai saksi dapat saja, dengan perkembangan penyidikan, ditetapkan sebagai tersangka bila memenuhi syarat dua alat bukti sah (Pasal 184 KUHAP) yang mengaitkan pemilik barang dengan tindak pidana. Dengan catatan, barang sitaan terbukti berasal dari hasil kejahatan atau dibeli dengan uang hasil tindak pidana tersebut.

"Kemudian ada bukti bahwa pemilik (saksi) mengetahui atau turut serta dalam tindak pidana, misalnya ikut menikmati hasil, menyembunyikan, atau membantu,” paparnya.

Terkait barang bukti, lanjut Yusdianto, bila prosedurnya dianggap keliru atau maladministrasi, saksi dapat mengajukan upaya hukum praperadilan.

Menurutnya, terdapat enam alasan utama mengapa penyidik Kejati Lampung cenderung lama dalam menangani kasus korupsi.

"Pertama, penyidik berhati-hati dalam pembuktian. Kedua, memiliki strategi tersendiri. Ketiga, banyak saksi yang harus diperiksa. Keempat, keterbatasan personel. Kelima, faktor politik, kepentingan, atau tekanan eksternal yang bisa mempengaruhi cepat atau lambatnya proses. Keenam, prinsip kehati-hatian agar tidak kalah dalam praperadilan,” jelasnya.

Yusdianto menyarankan Kejati Lampung bekerja dengan sebaik-baiknya sehingga perkara korupsi yang sedang ditangani dapat selesai.

"Saya menyarankan agar menuntaskan perkara ini dengan tunduk pada KUHAP, menghormati hak saksi, objektif, transparan, berkeadilan, dan berkepastian,” imbuhnya.

Saat ini, Kejati Lampung sedang menangani sejumlah kasus korupsi besar, di antaranya kasus korupsi dana hibah KONI Lampung tahun 2020, kasus korupsi anggaran perjalanan dinas DPRD Kabupaten Tanggamus, penguasaan dan alih fungsi kawasan hutan di Kabupaten Way Kanan, serta kasus korupsi dana Participating Interest (PI) di PT Lampung Energi Berjaya (LEB).

Sekadar diketahui, Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Tanjungkarang mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Agus Nompitu dan menyatakan penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Kejati Lampung tidak sah dan tidak berdasar hukum.

Putusan ini dibacakan dalam sidang praperadilan dengan Nomor Perkara: 9/Pid.Pra/2025/PN Tjk, pada Rabu (18/6/2025) lalu.

Humas PN Tanjungkarang, Samsumar Hidayat, mengatakan hakim tunggal Dedy Wijaya Susanto menilai alat bukti yang diajukan oleh termohon (Kejati Lampung) tidak memenuhi unsur kualitas dan relevansi untuk mendukung penetapan tersangka.

"Alat bukti tersebut tidak cukup membuat terang perkara dan justru menimbulkan keraguan yang beralasan terhadap keterlibatan pemohon dalam tindak pidana,” kata Samsumar, Kamis (19/6/2025).

Tak hanya soal alat bukti, lanjutnya, hakim juga menyoroti lambatnya proses penanganan perkara. Pemohon ditetapkan sebagai tersangka sejak 27 Desember 2023, namun hingga tahun 2025 perkara belum juga dilimpahkan ke pengadilan.

Padahal, Pasal 50 KUHAP mengatur bahwa setiap perkara pidana harus segera diproses ke tahap penuntutan.

"Hal ini bertentangan dengan asas litis finiri oportet, yang menyatakan bahwa setiap perkara harus ada akhirnya, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013,” jelasnya.

Menurut hakim, penundaan penanganan perkara tanpa kejelasan waktu juga telah melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia, terutama yang tercantum dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal tersebut menjamin hak setiap orang atas perlindungan hukum yang adil serta kepastian hukum.

Berdasarkan seluruh pertimbangan itu, hakim menyatakan penetapan tersangka terhadap Agus Nompitu melalui Surat Nomor: Print-11/L.8/Fd/12/2023 tertanggal 27 Desember 2023, tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dengan demikian, status tersangka yang sebelumnya disematkan kepada Agus Nompitu resmi dibatalkan melalui putusan praperadilan ini.

Lebih jauh, Yusdianto menilai kekalahan penyidik dalam praperadilan Agus Nompitu menjadi warning keras agar aparat lebih hati-hati. Menurutnya, kualitas penyidikan lemah, bahkan terkesan sarat intervensi politik maupun ekonomi.

"Sebelum menetapkan tersangka, penyidik wajib melakukan verifikasi dan validasi secara ketat. Kalau tidak, citra aparat hukum makin jatuh di mata publik,” imbuhnya.

Yusdianto juga menyinggung pentingnya mekanisme pengawasan. Mulai dari kontrol internal jaksa melalui supervisi berkas perkara, supervisi Kejaksaan Agung, hingga peran Komisi Yudisial.

Sementara itu, praperadilan sendiri tetap menjadi instrumen yudisial untuk menguji apakah aparat benar-benar taat prosedur.

"Dampak citra di mata masyarakat pun tidak bisa dihindari. Kekalahan penyidik di praperadilan memperkuat persepsi publik bahwa aparat penegak hukum tidak independen, lemah dalam menegakkan kepastian hukum, dan mudah diintervensi kepentingan politik maupun ekonomi, " ucap dia.

Yusdianto juga menyinggung urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset. Menurutnya, meskipun seseorang bebas dari status tersangka, aset hasil tindak pidana tetap dapat dirampas negara.

"Kalau RUU ini disahkan, fokus penegakan hukum akan bergeser ke pemulihan aset negara (asset recovery), bukan sekadar keabsahan prosedur terhadap status orang,” jelasnya.

Namun, ia juga memberi catatan bahwa bila aparat hukum tidak cermat, penerapan RUU Perampasan Aset justru bisa menimbulkan kerugian besar bagi pihak yang ternyata tidak bersalah.

"Salah langkah akan berujung pelanggaran HAM dan mencederai prinsip keadilan,” pungkasnya. (*)

Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Selasa 16 September 2025 dengan judul "Yusdianto: Putusan Praperadilan Agus Nompitu Harus Jadi Evaluasi Kejati"