• Rabu, 17 September 2025

‎Pengurus HIPMI Lampung Positif Narkoba Dibebaskan, Pakar Hukum: Tanpa Sidang Melanggar Legalitas

Rabu, 17 September 2025 - 12.55 WIB
41

‎Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, Prof. Dr. Hamzah, S.H., M.H. PIA., Foto: Ist.

‎Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Kasus penggerebekan pesta narkoba yang melibatkan pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung di Hotel Grand Mercure, Bandar Lampung, pada 28 Agustus 2025 lalu masih menuai kontroversi.

‎Kontroversi tersebut mencuat karena kelima pengurus HIPMI yang diamankan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung justru dilepaskan dengan alasan rehabilitasi tanpa masuk ke meja hijau. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik terkait konsistensi penegakan hukum terhadap kasus narkoba di Indonesia.

‎Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, Prof. Dr. Hamzah, S.H., M.H. PIA., mengatakan, dalam sistem hukum pidana, setiap penangkapan yang melibatkan tindak pidana narkoba seharusnya melalui alur hukum yang jelas, mulai dari penangkapan, penyidikan, asesmen terpadu, hingga penuntutan di pengadilan. Rehabilitasi dapat diberikan, namun tetap melalui putusan hakim, bukan keputusan penyidik atau BNN semata.

‎Dia menegaskan bahwa tindakan pembebasan tersebut tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

‎“Pasal 127 Ayat (1) UU Narkotika memang membuka peluang rehabilitasi, tapi itu merupakan sanksi yang dijatuhkan oleh hakim. Jadi tetap harus ada proses hukum. Pembebasan tanpa melalui pengadilan jelas melanggar asas legalitas,” ujarnya, Selasa (17/9/2025).

‎Ia menambahkan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 tentang rehabilitasi pecandu narkoba hanya berlaku bagi hakim sebagai pedoman di persidangan, bukan dasar bagi penyidik untuk menghentikan perkara.

‎Selain itu lanjutnya, peran Tim Asesmen Terpadu (TAT) memang penting untuk menentukan status seseorang sebagai pengguna atau pengedar. Namun, hasil asesmen tersebut tetap harus diuji di persidangan.

‎“Apalagi dalam kasus ini ditemukan tujuh butir narkotika, jumlah yang patut dipertanyakan apakah hanya sebatas untuk dipakai sendiri,” jelasnya.

‎Prof Hamzah menilai, proses asesmen harus dilakukan secara transparan agar publik mengetahui alasan rehabilitasi. Kerahasiaan dan kecepatan proses asesmen BNNP Lampung dalam kasus ini justru menimbulkan kecurigaan adanya perlakuan istimewa.

‎Lebih jauh, ia menilai pembebasan cepat terhadap pengurus HIPMI Lampung berpotensi melanggar prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) yang dijamin Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.

‎“Kalau masyarakat biasa dengan barang bukti sedikit saja diproses sampai penjara, mengapa pengurus HIPMI justru bisa dibebaskan begitu cepat? Ini menimbulkan kesan tebang pilih dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum,” tegasnya.

‎Menurutnya, kasus ini harus menjadi perhatian serius karena menyangkut keadilan hukum.

‎“Penegakan hukum yang tidak konsisten dan terkesan pilih kasih akan merusak kepercayaan publik pada lembaga peradilan dan penegak hukum,” pungkasnya. (*)