• Senin, 22 September 2025

Pengawasan Lemah, Program MBG Dinilai Tidak Maksimal dan Rentan Salah Kelola

Senin, 22 September 2025 - 13.46 WIB
16

Pengamat ekonomi, Erwin Octavianto. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai sebagai kebijakan strategis pemerintah yang memiliki tujuan mulia, yakni mencegah stunting dan mengatasi masalah gizi buruk pada anak-anak di Indonesia. Namun, lemahnya pengawasan membuat program ini belum berjalan maksimal.

Pengamat ekonomi, Erwin Octavianto, mengatakan angka stunting di Indonesia masih tergolong tinggi, terutama di daerah-daerah. Kondisi ini menunjukkan bahwa problematika gizi buruk belum sepenuhnya teratasi.

“Kasus bayi meninggal dengan tubuh dipenuhi cacing itu menjadi bukti nyata bahwa persoalan gizi kita masih besar. MBG hadir untuk menjawab kritik terhadap kebijakan sebelumnya yang selama ini hanya menghabiskan anggaran untuk sosialisasi tanpa hasil yang nyata,” kata Erwin saat dimintai tanggapan, Senin (22/9/25).

Ia menilai, melalui MBG pemerintah berusaha memberikan solusi langsung dengan menyediakan makanan bergizi kepada anak-anak.

Namun, wacana yang berkembang untuk mengganti program ini dengan pemberian uang tunai atau beras kepada orang tua siswa justru berpotensi menimbulkan masalah baru.

“Kalau diganti dengan uang, kita belum tahu apakah uang itu benar-benar dipakai untuk memasak makanan bergizi. Mekanisme pengelolaan dan pengawasannya akan semakin panjang, dan hasilnya tidak bisa kita harapkan dalam waktu dekat,” ujarnya.

Erwin menegaskan bahwa jika skema pemberian uang diterapkan, justru akan timbul persoalan lanjutan, terutama terkait pengelolaan anggaran di tingkat rumah tangga. Karena itu, ia menilai opsi paling relevan saat ini adalah memperkuat fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan MBG.

“Pengawasan MBG selama ini masih lemah. Jangankan pengawasan pada makanannya, bahkan pengawasan terhadap dapurnya saja masih lemah. Ada laporan bahwa sebagian besar pengelola MBG di beberapa daerah justru berasal dari anggota dewan atau pihak yang berafiliasi dengan pejabat,” tegasnya.

Ia menjelaskan, kondisi tersebut membuat tujuan pemberdayaan UMKM menjadi tidak tercapai. Pasalnya, para pengelola tersebut tidak memiliki latar belakang atau pengalaman dalam usaha pengelolaan makanan.

“Intinya mereka bukan pelaku usaha makanan. Mereka tidak memiliki pengalaman, tapi tiba-tiba menjadi pengelola MBG. Mau diberi modal berapa pun, pasti gagal,” ujar Erwin.

Menurutnya, pengelolaan MBG seharusnya diserahkan kepada pihak yang memiliki kapasitas, seperti rumah makan atau katering yang sudah lama beroperasi.

“Pelaku usaha makanan memiliki pengetahuan yang baik. Mereka tahu kalau bahan makanan diendapkan terlalu lama bisa basi. Pengetahuan-pengetahuan seperti itu hanya dimiliki pengusaha yang sudah lama berkecimpung di usaha ini,” katanya.

Erwin juga menyoroti fakta bahwa saat ini banyak pengelola MBG baru hanya bermodalkan dana, tanpa kemampuan mengelola dapur dan makanan.

“Kemampuan memasak itu bukan hanya soal rasa enak, tapi juga soal proses pengolahan yang baik agar bergizi. Ini yang sering dilupakan,” katanya.

Ia menegaskan, tujuan awal MBG tidak hanya memberikan makanan bergizi tetapi juga mendorong UMKM yang sudah lama berdiri agar berkembang dan lebih matang.

“Yang terjadi sekarang justru orang yang tidak memiliki pengalaman membuat dapur MBG baru, padahal kita masih bisa meragukan kemampuan mereka dalam mengelola makanan,” ujar Erwin.

Meski demikian, ia mengakui kebijakan MBG memiliki nilai positif, salah satunya membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dari sektor UMKM.

“Itu sebabnya MBG sampai saat ini masih dipertahankan. Semangatnya memang tidak hanya menyehatkan anak-anak tapi juga memberi manfaat ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja. Karena itu, program ini bukan hanya dipertahankan, tapi harus ditingkatkan,” katanya.

Erwin menilai langkah yang perlu dilakukan pemerintah adalah meningkatkan kapasitas SDM pengelola dapur dan memastikan koki yang bertugas memiliki kemampuan mumpuni.

“Kita butuh koki yang memang punya kapasitas dalam mengelola makanan bergizi. Jangan hanya karena ada modal lalu bisa mengajukan diri sebagai pengelola MBG,” kata dia.

Ia menegaskan, untuk mencegah kasus keracunan yang terjadi di beberapa daerah, pemerintah harus memperkuat pengawasan, meningkatkan kualitas SDM, serta memastikan proses produksi hingga konsumsi makanan berjalan sesuai standar.

“Dengan begitu, program MBG benar-benar bisa menjadi strategi efektif untuk menekan stunting, memberikan gizi yang baik bagi anak-anak, sekaligus memberdayakan UMKM,” tutup Erwin. (*)