• Sabtu, 27 September 2025

MBG, Harus Aman & Bermutu, Oleh: Donald Harris Sihotang

Selasa, 23 September 2025 - 17.19 WIB
18

Dr. Donald Harris Sihotang, S.E., M.M, CEO Kupas Tuntas Grup, yang juga Dosen Magister Manajemen Pasca Sarjana Universitas Saburai Bandar Lampung. Foto: Dok.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kasus keracunan massal yang menimpa siswa di berbagai daerah Indonesia menimbulkan tanda tanya besar tentang kesiapan program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Dari Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Sulawesi, laporan anak-anak yang mual, muntah, hingga harus dirawat di rumah sakit setelah mengonsumsi makanan MBG telah menimbulkan kekhawatiran publik.

Program yang semestinya menjadi jawaban atas persoalan stunting dan gizi buruk justru dihadapkan pada berbagai masalah: sanitasi yang buruk, pengawasan yang lemah, serta manajemen distribusi yang belum tertata. MBG kini menghadapi kenyataan ganda, membawa harapan besar sekaligus menimbulkan keresahan.

Lampung menjadi salah satu daerah dengan cakupan besar dalam pelaksanaan program ini. Berdasarkan data Pemprov, sasaran MBG di Lampung mencapai 2.736.888 orang yang terdiri dari siswa sekolah, santri pesantren, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Hingga awal September 2025, program ini baru menjangkau sekitar 800.677 siswa dari total sasaran lebih dari 2,3 juta jiwa. 

Namun di balik angka-angka tersebut, masih banyak hal yang harus dibenahi. Di Bandar Lampung dan Lampung Timur, ratusan siswa SD dan SMP mengalami mual, muntah, hingga pusing setelah menyantap makanan yang seharusnya sehat. Sebanyak 12 anak harus dirawat intensif di rumah sakit.

Kasus serupa juga terjadi di Pondok Pesantren Al Islah, Lampung Timur, di mana 25 santri mengalami keracunan. Di Jawa Tengah, belasan siswa SMP tumbang usai mengonsumsi lauk ayam dari MBG.

Di Jawa Timur, puluhan murid SD mengeluhkan sakit perut karena makanan basi. Bahkan di Sulawesi Selatan, sejumlah orang tua menolak distribusi makanan MBG ke sekolah karena khawatir anak mereka ikut menjadi korban.

Investigasi di beberapa daerah menemukan pola masalah yang hampir serupa, penyimpanan bahan makanan yang tidak higienis, keterlambatan penyajian, kemasan yang tidak sesuai standar, serta kelalaian petugas dapur yang bekerja tanpa seragam dan perlengkapan bersih.

Di Lampung, Dinas Kesehatan bahkan mendapati adanya bakteri Escherichia coli dalam sampel makanan. Fakta ini menjadi peringatan serius bagi semua pihak.

Orang tua yang semula menyambut MBG dengan rasa syukur kini dihantui ketakutan. Siapa yang bertanggung jawab atas standar sanitasi dan keamanan makanan? Bagaimana koordinasi antarinstansi dalam mengawasi program sebesar ini?

Menurut Dr. Nur Aini, pakar gizi dari Universitas Indonesia, kasus keracunan makanan di sekolah bukan sekadar insiden teknis, tetapi cerminan lemahnya sistem pengawasan.

"Makanan untuk anak-anak bukan hanya soal kenyang. Kandungan gizi, cara pengolahan, hingga standar higienitas harus menjadi prioritas. Jika standar ini dilanggar, risikonya bukan hanya keracunan sesaat, tetapi juga dampak jangka panjang terhadap tumbuh kembang anak,” ujarnya.

Baik di Lampung maupun daerah lain, dinas kesehatan dan dinas pendidikan mengakui koordinasi dengan Badan Gizi Nasional masih jauh dari ideal.

Sementara penyedia makanan kerap berkelit, menunda tanggung jawab dengan alasan menunggu hasil laboratorium. Kondisi ini membuat publik semakin ragu. Sebuah program yang seharusnya memberikan rasa aman justru memunculkan keresahan baru.

Kasus-kasus keracunan ini ironisnya terjadi di tengah besarnya anggaran yang digelontorkan. Data nasional menunjukkan, hingga akhir Juni 2025 sudah ada 5,2 juta penerima manfaat MBG di Indonesia, dan jumlah ini terus meningkat menjadi sekitar 5,5 juta penerima pada awal Juli 2025.

Dengan angka sebesar itu, wajar jika masyarakat menuntut jaminan kualitas dan keamanan makanan. Anggaran besar tak ada artinya bila pengawasan longgar dan standar higienitas diabaikan.

Orang tua siswa di berbagai daerah menuntut adanya uji laboratorium rutin, standar distribusi yang jelas, serta pengawasan yang lebih ketat.

Sebagian bahkan mengusulkan model bantuan yang lebih fleksibel, seperti voucher bahan makanan bergizi atau paket beras plus lauk yang bisa dikelola langsung oleh keluarga. Gagasan ini dinilai lebih aman dibanding menyerahkan sepenuhnya pada pihak ketiga yang terbukti kerap lalai.

Pemerintah pusat sendiri berencana menaikkan anggaran MBG tahun 2026 hingga Rp268 triliun, dengan Rp34,49 triliun di antaranya dialokasikan khusus untuk anak sekolah. Angka fantastis ini bisa menjadi peluang emas sekaligus bencana besar, jika masalah pengawasan dan kualitas tidak segera dibenahi.

Langkah serius harus segera diambil. Standar sanitasi ketat wajib diterapkan di setiap dapur MBG. Inspeksi rutin dan sanksi tegas harus dijatuhkan kepada pelanggar. Pengawasan penyimpanan, distribusi, hingga perlengkapan dapur bersih perlu diperkuat.

Petugas dapur wajib dibekali pelatihan berkelanjutan agar memahami standar pengolahan makanan bergizi dan higienis. Pemeriksaan laboratorium acak harus dilakukan secara konsisten untuk memastikan makanan yang disajikan benar-benar aman.

Prof. Bambang Wibowo, akademisi pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta, menilai persoalan MBG tidak hanya soal gizi, tetapi juga soal kepercayaan masyarakat terhadap sekolah.

"Ketika anak keracunan di sekolah karena program pemerintah, dampaknya bukan hanya kesehatan. Kepercayaan orang tua terhadap sekolah juga runtuh. Padahal sekolah seharusnya menjadi ruang paling aman bagi anak-anak,” tegasnya.

Pemerintah perlu membentuk satuan tugas independen di setiap kabupaten/kota yang melibatkan masyarakat sipil, dinas kesehatan, dinas pendidikan, dan lembaga pengawas pangan.

Transparansi adalah kunci. Publik harus bisa mengakses data penggunaan anggaran, daftar vendor penyedia, serta standar yang diterapkan di setiap dapur MBG. Dengan begitu, masyarakat dapat ikut mengawasi dan memastikan dana besar benar-benar digunakan sesuai tujuan.

Sebagai jalan tengah, model hybrid bisa dipertimbangkan. Sekolah dengan dapur bersertifikat dapat tetap menyajikan makanan siap santap, sementara daerah terpencil atau sekolah kecil bisa menerima voucher bahan makanan bergizi atau paket beras plus lauk untuk dikelola keluarga.

Skema ini lebih fleksibel sekaligus memberi ruang bagi orang tua untuk memastikan sendiri makanan anak-anak mereka.

Namun perbaikan teknis saja tidak cukup. Masalah mendasar lain yang harus disorot adalah siapa sebenarnya pengelola dapur MBG. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pengelola bukanlah pelaku usaha makanan, melainkan pihak-pihak yang dekat dengan pejabat atau anggota dewan. Mereka tidak memiliki pengalaman dalam mengelola dapur atau usaha makanan, sehingga kualitas sering kali mengecewakan.

Menurut Ir. Ratna Dewi, ahli kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, ini adalah bentuk salah urus yang berbahaya.

"Ketika dapur MBG dikelola oleh pihak yang hanya punya akses politik tetapi tidak punya kapasitas teknis, program ini akan terus bermasalah. Seharusnya pemerintah menggandeng UMKM makanan yang berpengalaman, bukan membuka ruang bagi kepentingan politik jangka pendek,” jelasnya.

Meski penuh kekurangan, MBG tetap membawa nilai positif yang patut diapresiasi. Program ini membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, terutama dari sektor UMKM. Banyak masyarakat terlibat dalam distribusi maupun penyajian makanan.

Semangat MBG memang bukan hanya menyehatkan anak-anak, tetapi juga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Karena itu, program ini bukan hanya layak dipertahankan, tetapi juga harus ditingkatkan kualitas pelaksanaannya.

Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk meningkatkan kapasitas SDM pengelola dapur MBG. Koki dan petugas yang bertugas harus memiliki kompetensi dalam mengolah makanan bergizi. Jangan sampai hanya karena modal, seseorang bisa dengan mudah menjadi pengelola MBG tanpa pengalaman memadai.

Pengawasan yang lemah telah terbukti melahirkan kasus keracunan. Maka, peningkatan kualitas SDM menjadi kunci agar program ini benar-benar memberi manfaat sesuai harapan.

Tujuan awal MBG sejatinya menekan angka stunting, memastikan gizi baik bagi anak-anak, sekaligus memberdayakan UMKM. Tujuan itu tidak akan tercapai bila pelaksanaannya abai.

Kasus keracunan di Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan daerah lain harus dijadikan pelajaran penting bahwa sebuah program besar tidak boleh hanya mengejar capaian angka, melainkan harus menjamin kualitas dan keamanan.

Masa depan anak-anak adalah cermin masa depan bangsa. Hanya dengan komitmen kuat, transparansi anggaran, dan pengawasan ketat, MBG dapat benar-benar menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang. Bukan sekadar menggugurkan janji politik, melainkan kebijakan nyata yang melahirkan generasi sehat dan cerdas. (*)