TikTok PayLater: Inovasi Belanja atau Jerat Konsumtif Baru, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya

TB Alam Ganjar Jaya, Wartawan Kupas Tuntas di Bandar Lampung. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - TikTok, aplikasi berbagi video pendek yang kini menjelma menjadi raksasa e-commerce melalui TikTok Shop, kembali meluncurkan gebrakan baru.
Produk keuangan bernama TikTok PayLater hadir sebagai fasilitas bayar tunda atau cicilan. Kehadirannya sontak memantik perbincangan luas, bukan hanya karena inovasi belanja yang semakin praktis, tetapi juga karena risiko finansial yang menyertainya.
Model Buy Now, Pay Later (BNPL) memang bukan barang baru di Indonesia. Sejumlah platform seperti Shopee, GoPay, hingga Akulaku lebih dulu menggarap ceruk pasar ini. Namun, masuknya TikTok dengan basis pengguna yang sangat masif jelas mengubah peta.
Generasi muda yang selama ini menjadikan TikTok sebagai panggung hiburan kini ditawarkan fasilitas kredit instan yang bisa membuat belanja terasa semakin mudah, bahkan nyaris tanpa pikir panjang.
Proses aktivasi TikTok PayLater sendiri dirancang sederhana. Pengguna cukup memperbarui aplikasi, mengajukan pendaftaran dengan KTP dan foto selfie, lalu menunggu verifikasi. Jika disetujui, limit kredit langsung muncul dan dapat digunakan di TikTok Shop.
Transparansi tenor dan mekanisme cicilan ditampilkan saat checkout. Dari sisi pengalaman pengguna, sistem ini seolah menyulap smartphone menjadi dompet elektronik sekaligus kartu kredit mini.
Namun, di balik kesederhanaannya, terdapat pertanyaan besar: sejauh mana layanan ini benar-benar membantu konsumen? Di satu sisi, PayLater membuka peluang inklusi keuangan.
Masyarakat yang belum tersentuh kartu kredit konvensional dapat menikmati fasilitas pembayaran bertahap. Di sisi lain, kemudahan ini berpotensi mendorong perilaku belanja impulsif yang justru kontraproduktif bagi kesehatan finansial.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa target utama TikTok adalah generasi muda. Mayoritas pengguna aktif TikTok di Indonesia berasal dari kelompok usia produktif awal, yakni 18–30 tahun. Mereka cenderung memiliki daya beli terbatas namun gaya hidup tinggi.
Layanan cicilan menjadi jalan pintas memenuhi keinginan, bukan kebutuhan. Risiko terlilit utang pun menjadi bayang-bayang nyata.
Mitra yang digandeng TikTok di tiap negara mempertegas kompleksitas layanan ini. Di Malaysia, PayLater dioperasikan oleh PIPO Fintech Services, sementara di Indonesia integrasinya erat dengan ekosistem GoTo.
Kolaborasi semacam ini menunjukkan bahwa TikTok tidak bergerak sendirian, melainkan berupaya mengakar dalam lanskap finansial lokal. Dengan kata lain, PayLater bukan sekadar tambahan fitur, tetapi strategi bisnis jangka panjang.
Kehadiran PayLater juga mengindikasikan bahwa pergeseran belanja daring kini bergerak ke arah experience yang lebih mulus. Konsumen tidak lagi sekadar mencari barang murah, tetapi juga cara bayar yang fleksibel.
TikTok membaca kebutuhan ini dengan cermat. Sebuah langkah yang dalam kacamata bisnis layak diapresiasi, karena mengombinasikan hiburan, perdagangan, dan keuangan dalam satu genggaman.
Meski demikian, perlu ada catatan kritis mengenai perlindungan konsumen. Apakah pengguna sudah benar-benar memahami syarat dan ketentuan sebelum mencicil? Bagaimana transparansi bunga dan denda keterlambatan?
Edukasi literasi keuangan harus menjadi bagian integral dari promosi layanan ini. Tanpa itu, TikTok PayLater bisa berubah dari solusi menjadi masalah.
Fenomena ini juga harus dilihat dalam konteks makro. Indonesia tengah mendorong inklusi keuangan digital. Kehadiran produk BNPL dapat mendukung misi itu jika diatur dengan tepat.
Pemerintah, OJK, dan pelaku industri perlu bersinergi memastikan praktik penagihan, perlindungan data, hingga aturan suku bunga tidak merugikan masyarakat. TikTok PayLater harus tunduk pada regulasi, bukan sekadar inovasi tanpa batas.
Bagi konsumen, godaan untuk "bayar nanti" memang sulit ditolak. Namun, kedewasaan finansial ditentukan oleh kemampuan membedakan kebutuhan dan keinginan. Jika digunakan bijak, PayLater bisa menjadi alat manajemen kas yang membantu. Tetapi jika salah langkah, ia berubah menjadi lubang yang menguras pendapatan bulanan.
Sebagai jurnalis, saya melihat TikTok PayLater sebagai cermin zaman. Kita hidup di era ketika batas antara hiburan, belanja, dan kredit semakin kabur.
Inovasi teknologi membawa kenyamanan, namun juga menuntut kedewasaan. TikTok telah membuka pintu, tetapi kitalah yang menentukan apakah akan masuk dengan hati-hati atau terburu nafsu.
Akhirnya, TikTok PayLater adalah ujian, bukan hanya bagi konsumen, tetapi juga bagi ekosistem keuangan digital.
Ujian bagi generasi muda untuk lebih bijak, bagi regulator untuk lebih waspada, dan bagi TikTok untuk lebih bertanggung jawab. Inovasi tanpa tanggung jawab hanya akan meninggalkan jejak utang, sementara inovasi dengan edukasi bisa melahirkan masa depan finansial yang lebih sehat. (*)
Berita Lainnya
-
Universitas Teknokrat Indonesia Raih Penghargaan Kampus Inovasi Terbaik Dunia versi WURI Rank 2025 di Korea Selatan
Jumat, 26 September 2025 -
Ini Lima Calon Ketua DPD PDI Perjuangan Lampung Dipanggil DPP untuk Fit and Proper Test
Jumat, 26 September 2025 -
Empat Titik Tol Bakauheni–Terbanggi Besar Kini Dilengkapi Sistem Deteksi Kendaraan ODOL
Jumat, 26 September 2025 -
Bayar PBB di Lampung City Mall Dapat Minyak Goreng Gratis, Ini Jadwalnya
Jumat, 26 September 2025