• Rabu, 01 Oktober 2025

‎303 Ribu Hektar Hutan di Lampung Hilang, Pengamat: Persoalan Kompleks

Rabu, 01 Oktober 2025 - 13.58 WIB
17

‎Pengamat lingkungan Universitas Lampung, Pitojo Budiono. Foto: Ist.

‎Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kerusakan hutan di Provinsi Lampung kian memprihatinkan. Data terbaru Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung mencatat, dalam dua dekade terakhir tutupan hutan di daerah ini telah menyusut hingga 303 ribu hektare.

‎Jika dibandingkan dengan total luas hutan di Lampung yang mencapai sekitar 1,004 juta hektare, maka angka tersebut setara dengan sepertiga kawasan yang hilang. Kondisi ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman deforestasi yang terjadi di Lampung.

‎Pengamat lingkungan Universitas Lampung, Pitojo Budiono, menilai fenomena tersebut tidak bisa hanya disalahkan kepada korporasi.

‎Menurutnya, kerusakan hutan di Lampung justru merupakan persoalan kompleks yang melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, hingga aktor politik.

‎Ia menjelaskan, sekitar 86 persen kawasan hutan di Lampung saat ini sudah dihuni masyarakat dengan berbagai macam aktivitas, mulai dari bercocok tanam hingga pemukiman.

‎Hal ini menjadi salah satu faktor terbesar sulitnya upaya menjaga kelestarian hutan, karena konflik kepentingan antara kebutuhan lahan masyarakat dengan upaya konservasi sulit dihindarkan.

‎Pitojo menegaskan, deforestasi yang terjadi bukan semata-mata akibat ulah perusahaan besar.

Walaupun korporasi sering disebut sebagai penyebab utama, kenyataannya masyarakat juga ikut mendorong percepatan kerusakan hutan.

‎Ia mencontohkan, berdasarkan data profil kehutanan, sekitar 28,45 persen kawasan hutan sebenarnya masih berpotensi dipertahankan.

Namun, setiap tahunnya angka tersebut terus menyusut karena tekanan lahan yang semakin tinggi.

Selain persoalan teknis, ia menilai aspek politik juga menjadi salah satu pemicu kerusakan hutan.

‎Menurutnya, sering kali kebijakan pemerintah dalam pengelolaan kawasan hutan lebih mengutamakan kepentingan individu, program, maupun partai politik, ketimbang berfokus pada komitmen jangka panjang menjaga kelestarian lingkungan.

‎“Kalau kita tidak memahami kompetensi apa yang harus diberikan kepada masyarakat dan bagaimana cara mengatur pola pengelolaan kawasan, maka kerusakan hutan hanya akan semakin meluas,” ujar Pitojo, saat dimintai tanggapan Rabu (1/10/2025)

‎Lebih lanjut, Pitojo menekankan bahwa kebutuhan lahan masyarakat merupakan realitas yang tidak bisa dibendung.

Banyak warga, kata dia, terpaksa melakukan berbagai cara untuk membuka lahan karena alasan ekonomi maupun kebutuhan hidup.

‎“Inilah yang memperparah kerusakan hutan di Lampung. Jadi, persoalannya bukan hanya permainan korporasi, tetapi juga konflik kepentingan yang begitu kompleks dan sulit diatasi,” jelasnya.

‎Ia menambahkan, persoalan kehutanan sosial yang selama ini digadang sebagai solusi juga belum berjalan maksimal.

Padahal, program tersebut seharusnya menjadi instrumen penting untuk mengurangi konflik kepentingan sekaligus memberikan kepastian akses bagi masyarakat tanpa merusak hutan.

‎Namun, lemahnya implementasi dan minimnya kapasitas pemerintah membuat masalah semakin sulit dikendalikan.

‎Pitojo menegaskan, tanpa adanya komitmen kuat dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta, kerusakan hutan di Lampung akan terus berlanjut.

‎Dampaknya tidak hanya pada berkurangnya ruang terbuka hijau, tetapi juga berpotensi menimbulkan krisis lingkungan, konflik sosial, hingga bencana ekologis di masa depan. (*)