Pengamat Hukum: Pemerintah dan Korporasi Harus Bertanggung Jawab atas Kerusakan Hutan di Lampung

Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung, Benny Karya Limantara. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Tingginya angka deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Lampung mendapat sorotan dari kalangan akademisi. Data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Lampung mencatat seluas 303 ribu hektare lahan hutan mengalami kerusakan dalam dua dekade terakhir.
Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadi salah satu penyebab utama kerusakan hutan yang semakin memprihatinkan.
Menurut Benny, kasus pembukaan lahan ilegal, pembakaran hutan, hingga penyalahgunaan izin konsesi menunjukkan adanya kelemahan struktural dalam tata kelola kehutanan.
“Pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki tanggung jawab utama dalam memberikan izin, mengawasi, sekaligus menindak pelanggaran. Jika lalai, negara juga bisa dimintai pertanggungjawaban hukum karena kerusakan ekologis adalah persoalan konstitusional,” kata Benny saat dimintai tanggapan, Jumat (3/10/2025).
Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. UU Cipta Kerja, di mana pemerintah pusat menetapkan kebijakan makro seperti fungsi kawasan dan izin berskala besar, sementara pemerintah daerah berwenang dalam pengawasan lapangan.
Namun, dalam praktiknya kapasitas pengawasan sering lemah karena keterbatasan SDM, konflik kepentingan antara investasi dan konservasi, serta tumpang tindih kewenangan.
Benny juga menyoroti peran korporasi, termasuk perusahaan pemegang izin konsesi seperti PT Inhutani. Berdasarkan regulasi, perusahaan wajib menjaga fungsi ekologis kawasan, melaksanakan rehabilitasi, serta melibatkan masyarakat lokal.
“Faktanya, banyak perusahaan yang melakukan pembalakan melebihi izin, mengalihkan lahan ke pihak ketiga, atau lalai dalam rehabilitasi. Praktik ini jelas melanggar UU Kehutanan dan dapat dijerat pidana,” ujarnya.
Terkait instrumen hukum, ia menjelaskan sanksi terhadap perusahaan perusak hutan dapat berupa administratif, perdata, maupun pidana. Mulai dari pencabutan izin, gugatan ganti rugi, hingga pidana penjara dan denda besar. Namun, menurut Benny, penegakan hukum terhadap korporasi masih jarang diterapkan secara tegas.
Ke depan, ia mendorong langkah strategis berbasis keadilan ekologis. Paradigma hukum, kata dia, tidak boleh lagi hanya antroposentris (berpusat pada manusia), melainkan harus ekosentris yang mengakui hutan sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik.
“Kita perlu reformasi tata kelola perizinan yang transparan, memperkuat pengawasan, melibatkan masyarakat adat, dan mendorong litigasi strategis lingkungan seperti citizen lawsuit. Itu penting untuk melindungi hutan Lampung dan generasi mendatang,” tegasnya.
Benny menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa kerusakan hutan bukan hanya persoalan teknis atau ekonomi, melainkan menyangkut tanggung jawab konstitusional negara.
“Hutan adalah penopang kehidupan lintas generasi. Jika kita gagal menjaganya, maka yang hilang bukan sekadar pohon, tetapi keberlanjutan hidup manusia itu sendiri,” pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Investasi Rp 3,4 Triliun Dibidik, WKP Danau Ranau Akan Dilelang Ulang November
Jumat, 03 Oktober 2025 -
Ekonomi Lampung Tertumpu pada Pertanian, Inflasi Naik Jadi 1,17 Persen
Jumat, 03 Oktober 2025 -
BKD Lampung Pastikan Tidak Ada Perbedaan Hak PPPK Tahap I dan II
Kamis, 02 Oktober 2025 -
Pemkot Bandar Lampung Tagih Rp88,9 Miliar Dana Bagi Hasil Belum Cair
Kamis, 02 Oktober 2025