• Senin, 13 Oktober 2025

660 Perempuan dan Anak Jadi Korban Kekerasan di Lampung

Senin, 13 Oktober 2025 - 08.15 WIB
21

660 Perempuan dan Anak Jadi Korban Kekerasan di Lampung. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI mencatat terdapat 611 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Lampung. Jumlah korban mencapai 660 orang, yang terjadi sejak 1 Januari hingga 9 Oktober 2025.

Berdasarkan data yang diakses dari aplikasi SIMFONI-PPPA milik Kementerian PPPA RI pada Minggu (12/10/2025), kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Lampung sebanyak 611 kasus dengan 660 korban yang tersebar di 15 kabupaten/kota.

Kasus terbanyak tercatat di Kota Bandar Lampung dengan 173 kasus, disusul Lampung Selatan 65 kasus, Metro 61 kasus, Tulangbawang Barat 44 kasus, dan Lampung Timur 41 kasus.

Bentuk kekerasan yang dialami korban meliputi kekerasan seksual 395 kasus, fisik 203 kasus, psikis 93 kasus, lainnya 15 kasus, penelantaran 14 kasus, trafficking 4 kasus, dan eksploitasi 3 kasus. Dari jumlah tersebut, sebagian besar masih dalam tahap pengaduan, sementara baru 15 kasus yang sudah dilakukan penegakan hukum.

Korban anak di bawah umur tercatat sebanyak 477 orang, sedangkan korban berusia 18–59 tahun berjumlah 183 orang. Berdasarkan hubungan dengan korban, pelaku terbanyak adalah pacar dan teman dengan 138 kasus. Adapun lokasi kejadian paling banyak terjadi di lingkungan rumah tangga, yakni sebanyak 384 kasus.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Lampung, Hanita Farial, membenarkan bahwa hingga Oktober 2025, di Provinsi Lampung tercatat 611 kasus kekerasan dengan 660 korban yang tersebar di 15 kabupaten/kota. Ia menegaskan pentingnya keberanian korban untuk “speak up” agar kasus cepat ditangani.

"Dalam setiap sosialisasi, kami tekankan pentingnya berani speak up mengungkapkan kekerasan yang dialami atau disaksikan. Semakin banyak yang berani melapor, semakin cepat pula kita bisa memberikan perlindungan,” ujar Hanita, Sabtu (11/10/2025).

Hanita menjelaskan, Pemerintah Provinsi Lampung telah membentuk UPTD PPA yang bertugas memberikan layanan penanganan bagi korban kekerasan. UPTD ini diharapkan menjadi ujung tombak pemerintah dalam penanganan kasus agar masyarakat semakin percaya bahwa negara hadir untuk melindungi mereka.

Menurutnya, faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kekerasan di Lampung adalah budaya patriarki dan ketimpangan kuasa. Banyak norma sosial yang masih menempatkan laki-laki dalam posisi dominan dibandingkan perempuan.

"Perempuan atau anak sering dianggap berada di bawah, sehingga tidak dihormati atau dianggap tidak perlu punya suara. Akibatnya, hak-hak perempuan dan anak sering diabaikan,” tegasnya.

Ia menambahkan, faktor lain seperti aib keluarga, ketergantungan ekonomi terhadap suami, serta lemahnya ketahanan keluarga juga memicu kekerasan. Tekanan ekonomi kerap menimbulkan konflik rumah tangga yang berujung pada kekerasan domestik.

Selain itu, kurangnya pengawasan orang tua, pola asuh yang tidak sesuai, serta pengaruh teknologi dan media sosial turut menjadi pemicu. Kemudahan akses internet membuat anak rentan mengalami pelecehan daring.

"Misalnya kasus remaja yang berkenalan di media sosial kemudian menjadi korban kekerasan seksual. Banyak korban yang takut melapor karena relasi kuasa dalam rumah tangga atau ancaman dari pelaku,” ujarnya.

Hanita menilai, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hak dan prosedur pelaporan juga memperburuk situasi. Sistem perlindungan hukum belum optimal, dan layanan pengaduan belum merata di seluruh daerah.

"Pelaku sering kali orang dekat korban, seperti keluarga, tetangga, atau teman, sehingga korban merasa takut, malu, atau tertekan untuk melapor,” katanya.

Hanita menyebut, korban dengan tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA masih mendominasi. Kurangnya pendidikan seksual dan pemahaman tentang hak anak serta perempuan di sekolah maupun rumah membuat mereka lebih rentan menjadi korban.

Provinsi Lampung, lanjutnya, telah memiliki UPTD PPA sesuai dengan Peraturan Presiden RI Nomor 55 Tahun 2025, dengan pendamping kasus profesional seperti advokat bersertifikat SPPA, psikolog klinis, konselor pendidikan, dan pendamping hukum.

"Langkah-langkah yang diambil untuk menekan angka kekerasan antara lain melalui layanan pelaporan dan pengaduan, termasuk call center dan aplikasi Lampung-in yang terhubung langsung dengan sistem Kementerian PPPA,” jelas Hanita.

Ia juga menuturkan, program pencegahan dilakukan melalui edukasi pola asuh sehat, kesetaraan gender, dan perlindungan anak. Program unggulan seperti Desa Tapis berfokus pada pencegahan stunting, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak anak, serta perlindungan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, pemuda, dan lansia.

Selain itu, Pemerintah Provinsi Lampung telah memperkuat regulasi melalui Perda No. 2 Tahun 2021 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, serta Pergub No. 62 Tahun 2021 tentang Mekanisme Pencegahan, Penanganan, dan Reintegrasi Sosial Korban Kekerasan.

Hanita menambahkan, terdapat pula Surat Gubernur No. 463/4826/V.19/2023 tentang Dukungan Transformasi PATBM menjadi LKD, guna memperkuat lembaga desa agar memiliki jaminan anggaran dan keberlanjutan program.

"Kami juga melibatkan masyarakat dan mitra jejaring, seperti organisasi perempuan, PKK, lembaga pendamping, organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, dan kelompok masyarakat lainnya,” pungkasnya. (*)

Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Senin 13 Oktober 2025 dengan judul "660 Perempuan dan Anak Jadi Korban Kekerasan di Lampung”