• Senin, 13 Oktober 2025

Praperadilan Ditolak, Oknum Kepsek di Metro Bakal Gugat Kapolri

Senin, 13 Oktober 2025 - 19.03 WIB
83

Foto : ilustrasi AI.

Kupastuntas.co, Metro — Kasus dugaan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) dengan terlapor AF, seorang oknum kepala sekolah di Kota Metro, memasuki babak baru. Pengadilan Negeri (PN) Metro menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan oleh AF dan menyatakan gugatan tersebut cacat formil serta tidak dapat diterima. 

Putusan ini memperkuat posisi hukum Polres Metro untuk melanjutkan proses penyidikan terhadap tersangka. Sidang pembacaan putusan dilakukan pada Senin, 13 Oktober 2025, oleh Hakim Galih Erlangga, S.H., M.H., dalam ruang sidang terbuka di Pengadilan Negeri Metro. 

Dalam amar putusannya, hakim menegaskan bahwa gugatan praperadilan Pemohon tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang relevan.

"Menimbang, bahwa oleh karena permohonan praperadilan Pemohon mengandung cacat formil dan dinyatakan tidak dapat diterima, maka Hakim tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan Pemohon,” demikian kutipan salinan putusan yang diperoleh Kupastuntas.co, Senin (13/10/2025) sore.

Hakim juga memutuskan bahwa biaya perkara dibebankan kepada Pemohon dengan jumlah nihil, mengingat tidak ada biaya perkara yang dikeluarkan selama proses berjalan.

Kasat Reskrim Polres Metro, AKP Hendra Safuan yang menjadi Termohon dalam perkara tersebut, menyambut baik keputusan hakim. Ia menyebut bahwa putusan ini menjadi dasar hukum yang kuat bagi penyidik untuk melanjutkan pemeriksaan terhadap tersangka AF dalam perkara dugaan TPKS yang diancam hukuman hingga 12 tahun penjara.

"Kami menghormati keputusan pengadilan dan akan segera melanjutkan tahapan penyidikan. Agenda ke depan adalah pemeriksaan terhadap tersangka dengan pendampingan kuasa hukum,” ujar Hendra Safuan, Senin (13/10/2025).

Hendra menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen menegakkan hukum secara profesional dan berkeadilan, tanpa intervensi maupun tekanan opini publik.

“Kami harap semua pihak menghormati proses hukum dan memberikan ruang bagi penyidik untuk bekerja secara profesional. Korban berhak mendapatkan keadilan, dan tersangka pun memiliki hak membela diri melalui mekanisme hukum yang sah,” tandasnya.

Dalam pertimbangan hukumnya, hakim merujuk pada Pasal 95 jo. Pasal 77 UU RI nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana, serta Putusan MK Nomor 98/PUU-X/2012 dan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 sebagai dasar pelaksanaan praperadilan di Indonesia. Hakim juga menyinggung ketentuan dalam PP Nomor 92 Tahun 2015 yang mengatur pelaksanaan KUHAP.

Putusan ini menegaskan bahwa penetapan tersangka AF dilakukan secara sah dan beralasan hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar yang cukup bagi pengadilan untuk membatalkan status tersangka sebagaimana dimohonkan oleh pihak AF.

Keputusan tersebut sekaligus memberi legitimasi bagi Polres Metro untuk melanjutkan penyidikan kasus dugaan kekerasan seksual yang telah menyita perhatian publik sejak awal tahun 2025.

Namun, kuasa hukum AF, Ryan Gumay memiliki pandangan berbeda. Ia menegaskan bahwa perkara yang ditolak hakim bukanlah praperadilan penetapan tersangka, melainkan permohonan ganti rugi atas penahanan selama 32 hari yang sempat dijalani kliennya.

“Pertama, perlu diluruskan bahwa itu bukan praperadilan penetapan tersangka, tapi gugatan ganti rugi atas penahanan 32 hari yang pernah dilakukan Polres Metro,” jelas Ryan saat dikonfirmasi via telepon WhatsApp.

Ia menjelaskan, dalam permohonan ganti rugi tersebut, majelis hakim menyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak dapat diterima, karena ditemukan ketidaksesuaian antara posita dan petitum.

“Dalam narasi posita tertulis Rp77 juta, tapi di petitum tertulis Rp75 juta. Itu dianggap cacat formil. Jadi belum masuk ke substansi, tapi kami menghormati putusan hakim,” ujarnya.

Namun, Ryan juga menilai ada kejanggalan dalam putusan tersebut, yang disebutnya mengandung unsur ultra petita, yakni hakim memutus perkara melebihi apa yang dimohonkan.

“Kami menilai ada penafsiran keliru dan keputusan hakim yang keluar dari pokok permohonan. Karena itu kami berencana melaporkan hal ini ke Komisi Yudisial atas dugaan pelanggaran ultra petita,” tegasnya.

Ryan Gumay mengungkapkan bahwa pihaknya tengah mempersiapkan gugatan perdata perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap sejumlah pihak, termasuk Kapolri, Kapolda Lampung, Kapolres Metro, dan Kasat Reskrim Polres Metro. 

"Kami akan menggunakan jalur perdata untuk menuntut ganti rugi material dan immaterial atas tindakan yang kami nilai melampaui kewenangan hukum. Saat ini sedang kami persiapkan secara administratif,” papar Ryan.

Menurutnya, peluang mengajukan permohonan ganti rugi melalui jalur praperadilan telah tertutup karena masa tiga bulan yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP telah habis. Oleh karena itu, langkah yang tersedia hanyalah gugatan perdata PMH. 

Kasus AF menjadi sorotan karena melibatkan pejabat pendidikan di daerah dan menyangkut isu sensitif kekerasan seksual. Kemenangan Polres Metro dalam praperadilan menunjukkan bahwa proses hukum terhadap kasus TPKS tidak berhenti pada tekanan publik maupun celah administratif, tetapi harus berjalan dalam koridor hukum acara yang sah.

Namun, langkah hukum balik yang disiapkan oleh pihak AF menunjukkan bahwa ruang perlawanan hukum tetap terbuka, dan penegakan hukum harus tetap menjaga keseimbangan antara hak korban dan hak tersangka.

Di satu sisi, Polres Metro kini mendapat legitimasi untuk menuntaskan penyidikan dan melanjutkan ke tahap penuntutan. Di sisi lain, pihak AF menegaskan akan terus memperjuangkan hak hukum mereka hingga ke jalur perdata. (*)