• Selasa, 14 Oktober 2025

Konflik 40 Tahun Tanah Way Dadi, Warga Tiga Kelurahan Tuntut Tanah Dikembalikan ke Rakyat

Selasa, 14 Oktober 2025 - 14.52 WIB
194

Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas), Armin Hadi, saat memberikan keterangan usai RDP di ruang rapat Komisi I DPRD Lampung, Selasa (14/10/2025). Foto: Sandika/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Komisi I DPRD Provinsi Lampung menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Tanah di ruang rapat Komisi I DPRD Lampung, Selasa (14/10/2025).

RDP tersebut membahas penyelesaian konflik tanah yang telah berlangsung selama 40 tahun di tiga kelurahan, yakni Way Dadi, Way Dadi Baru, dan Korpri Jaya, Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung.

Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas), Armin Hadi menyampaikan, proses penyelesaian tanah itu sudah memakan waktu hingga empat dekade. Ia menjelaskan, warga telah melakukan berbagai audiensi namun belum juga menemui titik terang.

"Sebelumnya kami sudah RDP dengan Ombudsman dan hasil kajiannya terdapat praktik maladministrasi dalam penertiban hak-hak atas tanah tersebut. Selain itu, kami juga telah melakukan audiensi dengan DPD RI hingga Kemendagri, namun belum menghasilkan solusi,” kata Armin, seusai RDP di ruang rapat Komisi I DPRD Lampung, Selasa (14/10/2025).

Lebih lanjut Armin menjelaskan, polemik tanah ini berawal dari status tanah seluas lebih dari 300 hektare yang sejak tahun 1980 telah ditetapkan sebagai tanah untuk rakyat. Namun, dalam perjalanannya, lahan tersebut justru dikuasai oleh pihak pengusaha dan pemerintah daerah.

"Permasalahan ini bermula pada tahun 1980, ketika Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menetapkan 300 hektare tanah di Way Dadi sebagai tanah untuk masyarakat. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hanya sekitar 30 persen tanah yang bersertifikat untuk rakyat," jelasnya.

"Sisanya, lebih dari 90 hektare dicaplok oleh PT Way Halim Permai. Tidak berhenti di situ, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung juga mengambil alih sekitar 110 hektare, termasuk 21 hektare yang digunakan untuk pembangunan stadion dan hutan kota, serta sebagian lainnya untuk DPR,” terangnya.

Ia menambahkan, tanah yang seharusnya menjadi hak rakyat kemudian didaftarkan sebagai aset pemerintah melalui skema Hak Pengelolaan Tanah (HPL).

"Selama ini masyarakat dibenturkan dengan klaim aset pemerintah. Padahal, kalau cacat hukum, hak tersebut bisa dibatalkan dan dikembalikan menjadi tanah negara,” ujarnya.

Armin menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah, HPL dapat dibatalkan apabila terbukti cacat hukum dalam penerbitannya.

Ia juga mengungkapkan, pada tahun 2008 masyarakat telah mengusulkan agar tanah tersebut dikembalikan untuk rakyat kepada gubernur, namun ditolak dengan alasan tanah itu sudah terdaftar sebagai aset pemerintah.

Kendati belum menemui titik terang, Armin mengatakan masyarakat masih optimistis. Mereka menilai jalan tengah bisa ditemukan melalui skema reforma agraria pemerintah, yang memungkinkan redistribusi tanah kepada rakyat melalui penerbitan sertifikat PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap).

Mewakili masyarakat, Armin berharap pemerintah segera membatalkan HPL yang dianggap cacat hukum agar tanah tersebut dapat dikembalikan menjadi milik rakyat, sesuai amanat reforma agraria.

Untuk diketahui, terdapat sekitar 23 ribu Kepala Keluarga (KK) yang masih terdampak dalam polemik tanah tersebut, yang mencakup tiga kelurahan dengan luas lahan sekitar 189,3 hektare. (*)