Tertinggi Ketiga di Lampung, Informasi Pornografi Jadi Pemicu KDRT di Metro

Kepala DP3AP2KB Kota Metro, Suhehi, saat dimintai keterangan, Selasa (14/10/2025). Foto: Arby/kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Metro - Kota Metro kembali menjadi sorotan dalam laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Lampung.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, sepanjang periode 1 Januari hingga 9 Oktober 2025 tercatat 611 kasus kekerasan dengan 660 korban di 15 kabupaten/kota di Lampung.
Dari angka tersebut, Kota Metro menduduki peringkat ketiga tertinggi dengan 61 kasus, hanya berada di bawah Bandar Lampung dan Lampung Tengah.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Metro mengonfirmasi bahwa angka tersebut identik dengan data lokal hingga 13 Oktober 2025.
Kepala DP3AP2KB Kota Metro, Suhehi, menyebutkan bahwa dari total 61 kasus itu, kekerasan fisik menjadi bentuk kekerasan yang paling dominan, diikuti kekerasan psikis dan seksual.
“Kasus kekerasan paling banyak terjadi di ranah rumah tangga. Kami mencatat 26 kasus KDRT dari total laporan. Sementara 32 kasus lainnya terjadi di rumah pelaku, hotel, atau tempat lain. Adapun kekerasan di sekolah tercatat dua kasus, dan satu kasus terjadi di fasilitas umum,” jelas Suhehi kepada Kupastuntas.co, Selasa (14/10/2025).
Data DP3AP2KB menunjukkan korban kekerasan terbanyak adalah anak dan remaja berusia 1 hingga 17 tahun, yakni sebanyak 19 korban. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak masih menjadi kelompok paling rentan terhadap kekerasan, baik di dalam rumah maupun di lingkungan sosialnya.
Meski demikian, seluruh 61 kasus telah mendapatkan layanan pendampingan, mulai dari pengaduan, visum, hingga layanan psikologis dan hukum.
“Kami pastikan semua laporan tidak dibiarkan tanpa tindak lanjut. Ada yang masuk ke jalur hukum, ada pula yang ditempuh melalui mediasi,” ucap Suhehi.
Dari sisi fasilitas, UPTD PPA Kota Metro dinilai cukup siap menghadapi lonjakan kasus kekerasan. Kota Metro juga sudah memiliki rumah aman atau shelter yang beroperasi penuh dan layak menampung korban.
Namun demikian, mekanisme layanan cepat atau emergency response ketika kasus dilaporkan belum tersedia. DP3AP2KB menyebutkan pihaknya tengah menyusun pembentukan Tim Reaksi Cepat Layanan Kekerasan Perempuan dan Anak agar proses penanganan lebih sigap dan terkoordinasi.
“Selama ini koordinasi dengan Polres Metro, Dinas Kesehatan, RSUD A. Yani, dan sejumlah LSM lokal sudah berjalan melalui MoU. Tapi kami akui perlu mekanisme yang lebih cepat untuk menindak laporan darurat,” ungkapnya.
Untuk memperkuat pencegahan di tingkat akar rumput, DP3AP2KB mengembangkan program Omah Peluk (Omah Perlindungan Perempuan dan Anak). Program ini dibentuk di setiap kecamatan dan kelurahan, beranggotakan kader PATBM, PKK, lurah, camat, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas. Fungsi utamanya ialah mendeteksi dini potensi kekerasan dan memberikan respons awal sebelum korban mengalami trauma lebih berat.
Selain itu, DP3AP2KB juga rutin melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk edukasi di sekolah, kampus, dan komunitas lokal. Edukasi ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk menekan angka kekerasan dan memperkuat pemahaman publik tentang kekerasan berbasis gender.
Meski program-program perlindungan terus digulirkan, Kota Metro belum memiliki peraturan daerah maupun perwali yang secara khusus mengatur perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
“Namun kami sedang menyusun draf Perwali tentang Perlindungan Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan agar penanganan korban memiliki dasar hukum yang lebih kuat,” jelas Kepala DP3AP2KB.
DP3AP2KB menilai, faktor kemudahan akses informasi dan konten pornografi di internet menjadi penyumbang besar munculnya kekerasan domestik maupun seksual di Kota Metro.
“Kemudahan akses terhadap konten pornografi dan kekerasan melalui gawai berkontribusi pada perilaku menyimpang, terutama di kalangan anak dan remaja. Ini tantangan budaya dan teknologi sekaligus,” bebernya.
Pihaknya mengakui bahwa tantangan bukan hanya pada aspek penegakan hukum, tetapi juga pada budaya permisif dan lemahnya kontrol keluarga terhadap konsumsi media digital anak-anak.
Meski angka kasus terlihat tinggi, DP3AP2KB menilai hal itu justru menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat dalam melapor.
“Fenomena meningkatnya laporan dibanding tahun lalu kami anggap sebagai indikator positif. Artinya, masyarakat kini lebih berani dan paham bahwa kekerasan tidak bisa ditoleransi,” tandasnya.
Untuk menekan angka kekerasan di akhir tahun 2025, DP3AP2KB menargetkan peningkatan sosialisasi, penguatan koordinasi antar-stakeholder, dan pembentukan tim reaksi cepat.
Selain itu, implementasi Program Sekolah Ramah Anak dan Kota Layak Anak dianggap turut berperan karena masyarakat menjadi lebih sadar tentang hak dan perlindungan terhadap perempuan dan anak. (*)
Berita Lainnya
-
Pasca Tragedi Sidoarjo, Pemkot Audit 43 PBG Ponpes di Kota Metro
Selasa, 14 Oktober 2025 -
Waspada! Nomor Ketua DPRD Metro Ria Hartini Dipakai Minta Bantuan ke Sejumlah Pihak
Selasa, 14 Oktober 2025 -
Praperadilan Ditolak, Oknum Kepsek di Metro Bakal Gugat Kapolri
Senin, 13 Oktober 2025 -
Menang Praperadilan, Mantan Kepala DPUTR Metro Kembali Disorot Kejaksaan
Senin, 13 Oktober 2025