• Rabu, 15 Oktober 2025

‎Ketika Pesantren Runtuh: Saatnya Benahi Tata Kelola Pendidikan Keagamaan, Oleh: Koderi

Rabu, 15 Oktober 2025 - 08.05 WIB
113

‎Koderi, Penggerak Teknologi Pendidikan dan Dosen Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung. Foto: Ist

‎Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Bangunan mushala Pondok Pesantren Al-Khoziny di Desa Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, runtuh pada Senin, 29 September 2025, sekitar pukul 15.00 WIB,  tepat saat santri berjamaah menunaikan salat Ashar.

‎Dalam sekejap, suasana khusyuk berubah menjadi kepanikan. Dinding dan atap bangunan mushala yang berlantai tiga itu roboh menimpa para santri yang sedang beribadah.

Musibah itu menelan korban jiwa dan menyisakan luka mendalam bagi keluarga besar pesantren serta masyarakat sekitar.

‎Kita semua menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas peristiwa ini. Semoga para santri yang wafat dalam keadaan beribadah diterima oleh Allah SWT sebagai syuhada para penuntut ilmu yang gugur di jalan-Nya.

Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran, keteguhan, dan kekuatan iman untuk menghadapi ujian ini.

Tragedi ini bukan hanya duka bagi Sidoarjo, melainkan juga duka dan pelajaran bagi seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia.

‎Pesantren sebagai Pilar Moral dan Sosial

‎Sejak berabad-abad, pesantren telah menjadi benteng moral dan pusat pembentukan karakter bangsa.

Dari lembaga inilah lahir para ulama, guru, dan pemimpin umat yang menanamkan nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan tanggung jawab sosial.

Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menumbuhkan nilai kemanusiaan dan cinta tanah air.

‎Namun, perkembangan zaman membawa tantangan baru. Banyak pesantren tumbuh cepat secara kuantitas, namun belum diimbangi dengan kualitas manajemen dan standar keselamatan yang memadai.

Pembangunan fisik sering dilakukan secara swadaya tanpa pendampingan teknis atau perhitungan risiko yang matang.

‎Setelah masa berkabung Tragedi di Al-Khoziny berlalu, penulis memberani diri untuk menyampaikan pemikiran, bahwa musibah tragedi di Al-Khoziny  menjadi peringatan keras, semangat religius perlu disertai tata kelola yang profesional dan berorientasi pada keselamatan.

‎Keprihatinan dan Refleksi Tata Kelola

‎Musibah ini membuka mata kita bahwa keikhlasan dan semangat dakwah harus diiringi dengan manajemen yang kuat.

Pengelolaan pesantren perlu didasarkan pada prinsip "good governance"  transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme.

Pengasuh dan pengelola pesantren memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan lingkungan belajar yang aman bagi para santri.

Islam sendiri menegaskan bahwa menjaga keselamatan jiwa adalah bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan pokok syariat).

‎Langkah-Langkah Operasional yang Diperlukan

Agar tragedi serupa tidak terulang, perlu langkah konkret dari berbagai pihak:

‎1. Bagi Lembaga Pondok Pesantren:

Melakukan audit fisik bangunan dan sarana pendidikan secara berkala.

‎Membentuk Tim Keselamatan dan Kesehatan Santri yang bertugas memantau keamanan setiap hari.

Menyusun rencana mitigasi bencana dan mengadakan simulasi evakuasi rutin.

‎Mengikuti pelatihan manajemen risiko serta tata kelola kelembagaan modern.

‎2. Bagi Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah:

Menetapkan standar keamanan nasional untuk seluruh pesantren di Indonesia.

‎Melakukan akreditasi berbasis keselamatan dan kelayakan bangunan.

‎Menyediakan pendampingan teknis dan pengawasan konstruksi melalui kerja sama lintas instansi (Kemenag, PU, BNPB, dan universitas teknik).

Menyusun mekanisme bantuan yang fokus pada pembinaan berkelanjutan, bukan sekadar proyek fisik.

‎3. Bagi Masyarakat dan Donatur:

Menyalurkan bantuan dengan memperhatikan standar keamanan dan keberlanjutan.

Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keselamatan bangunan keagamaan.

‎Berpartisipasi aktif dalam mendukung pesantren melalui keahlian teknis, relawan, dan literasi manajemen.

Penutup

‎Reruntuhan mushala Pondok Pesantren Al-Khoziny menjadi cermin bagi kita semua.

Betapa mulianya niat mendirikan lembaga pendidikan agama, namun juga betapa berbahayanya jika tata kelolanya diabaikan.

Kini saatnya seluruh pemangku kepentingan kiai, pengelola, pemerintah, dan masyarakat bersatu membangun pesantren yang aman, profesional, dan berkah.

‎Menjaga keselamatan santri bukan hanya urusan administratif, tetapi wujud nyata dari ibadah dan tanggung jawab moral.

Karena di balik setiap musibah, selalu ada panggilan untuk memperbaiki diri agar pesantren tetap menjadi cahaya peradaban, bukan berita duka yang berulang. (*)