• Jumat, 17 Oktober 2025

Antara Disiplin dan Delik: Nasib Guru di Tengah Kabut Nilai Zaman, Oleh: Koderi

Jumat, 17 Oktober 2025 - 09.29 WIB
89

Koderi, Pemerhati Pendidikan dan Dosen Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung.. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kasus viral tentang guru yang menegur siswa merokok lalu dilaporkan ke polisi oleh orang tua kembali menyayat hati dunia pendidikan kita.

Fenomena ini bukan sekadar soal “Tamparan” dan “Laporan,” tetapi gejala sosial yang lebih dalam, yaitu "Krisis adab, kaburnya nilai, dan rapuhnya sinergi antara rumah dan sekolah".

Di tengah arus modernisasi hukum dan media sosial, guru kini berdiri di persimpangan sulit "Antara menegakkan disiplin atau terancam delik".

Padahal, sejatinya, pendidikan karakter tidak akan hidup tanpa disiplin yang mendidik, dan disiplin tidak akan bermakna tanpa dukungan orang tua dan masyarakat.

Untuk memahami kompleksitas persoalan ini, kita bisa menggunakan tiga lensa teoretis: Teori Ekologi Bronfenbrenner, Teori Sosial Kognitif Bandura, dan nilai-nilai adab dalam kitab klasik Ta‘lim al-Muta‘allim karya Imam Az-Zarnuji.

Perspektif Ekologi Bronfenbrenner: Ketika Sistem Tidak Bersinergi

Bronfenbrenner menjelaskan bahwa karakter anak dibentuk oleh jaringan sistem yang saling memengaruhi, mulai dari keluarga, sekolah, teman sebaya, media, hingga masyarakat.

Bronfenbrenner menyebut sebagai "Ecological system" yang terdiri dari microsystem (lingkungan langsung) dan mesosystem (hubungan antar-lingkungan).

Dalam konteks kasus ini, ketika keluarga dan sekolah gagal bersinergi, anak berada dalam kebingungan nilai.

Di sekolah, ia dilarang merokok dan diajarkan disiplin.

Di rumah, orang tuanya justru membela pelanggarannya dan menyalahkan guru.

Akibatnya, anak kehilangan kompas moral: ia belajar bahwa aturan bisa dinegosiasikan dan otoritas bisa dipermainkan.

Sekolah yang berupaya menanamkan karakter akhirnya kehilangan daya, karena sistem pendukung di rumah tidak selaras.

Inilah yang disebut Bronfenbrenner sebagai keretakan mesosistem, yaitu kegagalan interaksi positif antar lingkungan pendidikan anak.

Perspektif Sosial Kognitif Bandura: Anak Meniru yang Paling Dekat di Hati

Albert Bandura menegaskan bahwa anak belajar melalui observasi dan peniruan (modeling).

Perilaku tidak hanya diajarkan lewat nasihat, tetapi terutama lewat contoh nyata dari orang yang paling berpengaruh secara emosional biasanya orang tua.

Maka, ketika anak melihat orang tuanya memaki guru di media sosial atau menganggap teguran sebagai penghinaan, pesan moral yang ditangkap bukan lagi tentang “Merokok itu salah,” tetapi “Guru tidak boleh menegur saya.”

Model perilaku ini jauh lebih kuat daripada pelajaran moral yang diajarkan di sekolah.

Dalam perspektif Bandura, pembentukan karakter tidak bisa hanya bergantung pada pendidikan formal; perilaku sosial orang dewasa adalah kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang paling menentukan.

Guru boleh mengajar dengan idealisme, tapi anak akan tetap meniru apa yang ia lihat di rumah.

Perspektif Ta‘lim al-Muta‘allim: Hilangnya Adab, Padamnya Keberkahan

Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta‘lim al-Muta‘allim Ṭarīq at-Ta‘allum menulis dengan tajam:

"Ilmu tidak akan memberi sebagian dirinya kepadamu sebelum engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya".

Artinya, keberhasilan belajar tidak bergantung hanya pada kecerdasan, tetapi pada adab dan penghormatan terhadap ilmu serta guru.

Dalam konteks kasus ini, murid yang merokok di sekolah sudah melanggar adab thalabul ‘ilmi, tidak menjaga kehormatan lingkungan ilmu.

Namun, orang tua yang membela anak dan merendahkan guru, juga melanggar prinsip keberkahan ilmu, sebab dalam tradisi Islam, guru disebut sebagai "Waratsatul anbiya’ pewaris para nabi".

Sementara itu, guru juga tidak luput dari tanggung jawab adab.

Az-Zarnuji menasihati :

“Guru hendaknya menyayangi muridnya sebagaimana ia menyayangi anaknya".

Artinya, menegur murid boleh, bahkan wajib, tetapi harus dalam bingkai kasih sayang dan hikmah, bukan ledakan emosi.

Ketika guru menampar murid karena marah, bukan karena niat mendidik dengan tenang, maka proses pendidikan kehilangan “Ruh al-ta‘līm” — ruh ketulusan dan kasih sayang.

Di Antara Disiplin dan Delik

Kasus ini menempatkan guru di posisi serba salah:

"Bila diam, nilai disiplin hancur, tegas terancam pasal perlindungan anak".

Sementara itu, anak belajar dari situasi ini bahwa hukum bisa dijadikan senjata untuk menghindari tanggung jawab moral.

Inilah yang disebut “Kabut nilai zaman” ketika ukuran benar dan salah bergeser dari moral ke legal, dari adab ke sensasi.

Namun, akar masalah sejatinya bukan pada hukum, melainkan pada keruntuhan ekosistem pendidikan moral. 

Sekolah berjuang sendiri, orang tua tidak mendukung, masyarakat permisif, dan media justru menggiring opini tanpa kedalaman.

Jalan Keluar: Memulihkan Ekologi, Menegakkan Adab

Ketiga perspektif ini, sebagai teoritis solusi bahwa tidak bisa hanya berupa delik hukum atau teguran personal, tetapi rekonstruksi budaya pendidikan yang berakar pada sinergi dan adab perlu diimplementasikan.

Bangun sinergi keluarga-sekolah (Bronfenbrenner): Sekolah dan orang tua harus berkomunikasi dalam semangat kolaboratif, bukan konfrontatif.

Perkuat keteladanan sosial (Bandura): Orang dewasa- baik guru maupun orang tua, harus konsisten dalam mencontohkan nilai yang diajarkan.

Tanamkan adab sebelum ilmu (Az-Zarnuji): Pendidikan harus kembali menumbuhkan rasa hormat, tawadhu’, dan keberkahan.

Karena tanpa adab, semua ilmu dan hukum akan kehilangan makna.

Penutup

Kasus guru yang dilaporkan karena menegur siswa bukan sekadar konflik individu, tetapi simbol hilangnya keseimbangan antara disiplin, adab, dan hukum.

Pendidikan yang sejati tidak mungkin lahir dari rasa takut, tetapi dari rasa hormat dan kasih.

Seberapa besar adab seseorang, sebesar itu pula ia akan memahami dan mendapat manfaat dari ilmunya. ”Ta‘lim al-Muta‘allim"

Jika guru, orang tua, dan murid sama-sama belajar kembali tentang adab dan sinergi nilai, maka disiplin tidak lagi terasa sebagai delik, melainkan sebagai jalan menuju keberkahan. (*)