• Sabtu, 18 Oktober 2025

Soal 32 Tambang Ilegal, Pengamat: Pengawasan dan Penegakan Hukum di Lampung Lemah

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 09.10 WIB
35

Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Terungkapnya 32 aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di Provinsi Lampung oleh Bareskrim Mabes Polri, memunculkan sorotan tajam terhadap lemahnya pengawasan pemerintah daerah serta dugaan adanya praktik pembiaran oleh aparat penegak hukum.

Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara menilai, temuan tersebut menjadi bukti nyata bahwa sistem pengawasan dan penegakan hukum di sektor pertambangan belum berjalan efektif.

Menurut Benny, tambang tanpa izin bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan kejahatan yang berdampak langsung terhadap kerusakan lingkungan, hilangnya potensi pendapatan negara, serta ancaman keselamatan masyarakat di sekitar lokasi tambang.

"Temuan Bareskrim Polri ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum di tingkat daerah. Penindakan hukum seharusnya tidak berhenti pada aspek administratif, tetapi juga harus memulihkan keadilan sosial dan ekologis,” kata Benny saat dimintai tanggapan, Sabtu (18/10/2025).

Baca juga : Bareskrim Polri Temukan 32 Tambang Ilegal di Lampung, Budiman AS Minta APH Tindaklanjuti

Ia menegaskan, maraknya aktivitas tambang ilegal tidak bisa dilepaskan dari dua faktor utama, yakni lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan minimnya penegakan hukum.

"Pemerintah daerah memiliki kewenangan besar sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Namun, fakta adanya 32 PETI menunjukkan fungsi pengawasan itu tidak berjalan optimal,” ujarnya.

Benny menambahkan, lemahnya koordinasi antarinstansi serta sikap reaktif aparat dalam menindak pelanggaran juga memperburuk situasi. Kondisi tersebut membuka ruang terjadinya praktik beking atau perlindungan terhadap tambang ilegal.

"Jika benar ada keterlibatan oknum aparat dalam membekingi aktivitas tambang ilegal, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sesuai Pasal 3 dan Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001,” tegasnya.

Baca juga : DLH Telah Tutup 20 Tambang Tak Berizin di Lampung

Ia menilai, bentuk penyalahgunaan wewenang semacam itu merupakan pengkhianatan terhadap mandat sosial hukum dan mencederai kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

Benny menekankan, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum seharusnya tidak hanya menunggu laporan masyarakat, melainkan aktif melakukan pengawasan partisipatif dengan melibatkan unsur publik, media, dan lembaga independen.

"Model penegakan hukum progresif menuntut adanya kolaborasi antara aparat, pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat sipil. Langkah ini penting untuk menutup ruang kongkalikong dalam perizinan tambang,” jelasnya.

Menurut dia, aturan hukum yang ada sebenarnya sudah cukup kuat untuk menjerat pelaku tambang ilegal. Pasal 158 Undang-Undang Minerba dengan tegas menyebutkan ancaman pidana lima tahun penjara dan denda maksimal Rp100 miliar bagi siapa pun yang melakukan penambangan tanpa izin.

Namun, kelemahan justru terletak pada implementasi dan keberanian aparat menegakkan hukum secara konsisten.

"Celahnya bukan di aturan, tapi di pelaksanaannya. Dalam praktik hukum progresif, kekuatan hukum diukur dari keberanian menegakkannya,” pungkas Benny.

Sebagai langkah konkret, Benny merekomendasikan pemerintah daerah melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin tambang di Lampung, membentuk tim independen pengawasan yang melibatkan akademisi dan masyarakat sipil, serta membuka akses publik terhadap proses hukum yang berjalan.

"Penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tidak tebang pilih akan menjadi bukti bahwa hukum berdiri untuk keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan, bukan tunduk pada kepentingan ekonomi,” tutupnya. (*)