• Senin, 20 Oktober 2025

KPU Sebut Indeks Partisipasi Pilkada Lebih Baik Dibanding Pemilu 2024

Senin, 20 Oktober 2025 - 09.06 WIB
11

Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - KOMISI Pemilihan Umum (KPU) RI meluncurkan indeks partisipasi pemilihan kepala daerah untuk mengevaluasi pelaksanaan Pilkada 2024.

Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, menuturkan bahwa hasil indeks ini akan menjadi dasar bagi pemerintah untuk merumuskan strategi agar masyarakat mendatangi tempat pemungutan suara saat pilkada.

"Tantangannya bagaimana negara jungkir balik untuk meyakinkan pemilih menggunakan hak pilihnya, termasuk inovasi yang kami kembangkan nanti," tutur Afif di Hotel Pullman, Jakarta, seperti dikutip dari Tempo.co, Sabtu (18/10/2025).

KPU RI mengukur lima dimensi utama dalam indeks partisipasi pilkada (IPP), yaitu registrasi pemilih, pencalonan, kampanye, tingkat partisipasi pemilih serta sosialisasi, pendidikan pemilih dan partisipasi masyarakat atau sosdiklihparmas.

Kemudian KPU membagi kategori pemilih menjadi tiga tingkat partisipasi, dari level terendah yaitu involvement, engagement dan participatory.

Kelompok involvement berarti pemilih baru memiliki ketertarikan terhadap isu-isu pilkada. Kategori engagement berarti pemilih telah menunjukkan aksi nyata untuk terlibat dalam pilkada. Sementara level participatory berarti pemilih secara aktif mengikuti rangkaian pilkada.

Dari 37 provinsi yang mengikuti pilkada serentak 2024, mayoritas pemilihnya atau 31 provinsi masuk kategori engagement. Kemudian sebanyak 4 provinsi masuk kategori participatory. Keempat provinsi itu yakni Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sisanya, atau 2 provinsi masuk kategori partisipasi involvement.

Sedangkan untuk tingkat kabupaten atau kota, sebanyak 24 kabupaten/kota masuk ke dalam kategori participatory, 446 kabupaten/kota masuk kategori engagement, dan 38 kabupaten/kota masuk kategori involvement.

Komisioner KPU RI, August Mellaz, menyebut bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada 2024 lebih baik dibanding pemilihan presiden atau Pemilu 2024. KPU telah lebih dulu meluncurkan hasil indeks partisipasi pemilu pada awal 2025.

"Ini sebenarnya menunjukkan data yang bergeser. Di indeks partisipasi pemilu itu yang involvement lebih besar. Kalau di indeks partisipasi pilkada itu justru (lebih banyak) sekarang engagement," kata August.

Menurut August, tantangan bagi KPU ke depannya adalah mendorong tingkat partisipasi masyarakat menjadi penuh. Dia ingin masyarakat tidak hanya berpartisipasi, tetapi juga memiliki kesadaran bahwa suara mereka bisa mengubah kebijakan.

Lebih lanjut, dia menganggap bahwa IPP ini merupakan media untuk mendokumentasikan  proses pembelajaran dalam  pendidikan pemilih berkelanjutan. Di mana melalui IPP ditargetkan untuk merekam inisiatif dan mendorong partisipasi yang inovatif.

Sementara itu, Anggota Bawaslu RI, Totok Hariyono, mengatakan Indeks Partisipasi Pilkada (IPP) berkolerasi dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). Menurutnya, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pilkada serentak bukan hanya menjadi indikator positif bagi demokrasi, tetapi juga menjadi tantangan dalam hal pengawasan pemilu.

“Indeks partisipatif ini juga berkorelasi dengan indeks kerawanan. Jika, IPP mengukur tingkat partisipasinya masyakarat, IKP memotret sejauh mana pelanggaran dapat terjadi, baik dari sisi penyelenggara, peserta, maupun pemilih,” ujar Totok.

Totok menjelaskan, partisipasi publik merupakan roh utama demokrasi. Namun, partisipasi yang tidak diimbangi dengan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas dapat membuka celah bagi pelanggaran dan praktik kecurangan. 

Ia mengibaratkan partisipasi tanpa pengawasan ibarat rumah besar tanpa pagar dan semua pihak bisa masuk tanpa batas.

"Untuk itu, kita ingin partisipasi yang cerdas, yang didampingi kesadaran hukum dan pengawasan aktif masyarakat,” tegasnya.

Totok menjelaskan, upaya peningkatan partisipasi, pengawasan, dan penegakan hukum pemilu sejatinya bermuara pada satu tujuan yakni melahirkan negarawan sejati yang berpihak kepada rakyat.

Menurutnya, pemilu yang berkualitas bukan sekadar tentang siapa yang menang, tetapi tentang bagaimana rakyat mendapatkan kemaslahatan melalui kebijakan yang berpihak. (*)