• Kamis, 23 Oktober 2025

Minim Komunikasi Publik, Pemerintah Dinilai Gagal Bangun Kepercayaan Soal Energi

Kamis, 23 Oktober 2025 - 17.17 WIB
12

Diskusi publik di Cafe Zozo Garden, Kamis (23/10/2025). Foto: Sri/kupastuntas.co

Sri

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Minimnya komunikasi publik dinilai menjadi salah satu penyebab masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap kebijakan energi pemerintah.

Hal itu disampaikan dalam diskusi publik bertema 'Sudut Pandang Energi: Refleksi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran' yang digelar di Cafe Zozo Garden, Kamis (23/10/2025).

Pakar Komunikasi Publik Universitas Lampung (Unila), Dr. Feri Firdaus, menilai pemerintah belum mampu menerjemahkan jargon-jargon besar seperti “kedaulatan energi” dan “Indonesia Emas 2045” menjadi pesan yang mudah dipahami oleh masyarakat bawah.

"Narasi yang disampaikan pemerintah terlalu langit, sementara masyarakat hanya peduli pada urusan dapur mereka. Jadi, ketika masyarakat sulit mendapat LPG 3 kg atau BBM langka, mereka sulit percaya dengan slogan kemakmuran energi,” ujarnya.

Feri juga menyoroti kurangnya uji coba dan komunikasi berbasis data sebelum kebijakan energi diterapkan secara nasional.

Ia mencontohkan kebijakan pembatasan penjualan LPG 3 kg yang langsung diberlakukan di seluruh Indonesia tanpa tahapan uji coba terlebih dahulu.

"Kebijakan itu sebenarnya bagus, tapi kalah dalam pertarungan opini publik. Pemerintah seharusnya menguji coba lebih dulu di satu wilayah agar masyarakat memahami tujuannya,” tambahnya.

Menurut Feri, kondisi ini diperparah oleh lemahnya komunikasi antarinstansi pemerintah dan data yang tidak sinkron di lapangan. Misalnya, pemerintah menyebut stok solar aman, padahal di lapangan antrean panjang masih terjadi.

"Ketika masyarakat mendengar pemerintah bilang stok aman, tapi di lapangan justru langka, muncul ketidakpercayaan publik. Sama halnya dengan kebijakan impor beras, yang berlawanan dengan narasi swasembada pangan,” katanya.

Feri merekomendasikan pemerintah membentuk Pusat Komunikasi Energi Nasional yang melibatkan para pemangku kepentingan lintas sektor agar narasi yang disampaikan kepada publik lebih konsisten dan tidak membingungkan.

"Pemerintah harus bisa menjadi rujukan tunggal dalam informasi energi,” tegasnya.

Sementara itu, Pakar Energi dari Institut Teknologi Sumatera (Itera), Rishal Asri, mengatakan bahwa sekitar 50 persen suplai listrik dari PLN Lampung digunakan untuk mendukung pembangunan di wilayah Sumatera.

Ia menjelaskan, sumber energi bersih seperti geothermal (panas bumi) sebenarnya memiliki potensi besar, namun membutuhkan investasi jangka panjang.

"Geothermal tidak bisa dibangun instan. Di Ulu Belu, Tanggamus saja, eksplorasi dimulai sejak 1998 dan baru beroperasi pada 2012. Tapi potensinya sangat besar, satu Sumatera bisa tercukupi listriknya jika dikelola optimal,” ujarnya.

Rishal menambahkan, meski pemerintah mulai mengurangi penggunaan batu bara, sumber energi ini masih menjadi yang paling cepat dan efisien untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.

"Batubara masih dibutuhkan karena paling cepat dikonversi menjadi energi. Namun ke depan perlu ada diversifikasi dan kompetisi agar harga energi bisa lebih efisien,” tutupnya. (*)