• Kamis, 23 Oktober 2025

‎Pakar: Perbedaan Harga LPG 3 Kg di Daerah Dipicu Panjangnya Rantai Distribusi

Kamis, 23 Oktober 2025 - 19.10 WIB
18

‎Diskusi publik bertema di Cafe Zozo Garden, Bandar Lampung, Kamis (23/10/2025). Foto: Sri/kupastuntas.co

Sri

‎Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pemerintah dinilai konsisten menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah dengan mempertahankan harga gas LPG 3 kilogram di level Rp12.700 sejak tahun 2007.

Kebijakan ini menjadi langkah konkret dalam menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga kecil di tengah fluktuasi harga energi dunia.

‎Ekonom Universitas Lampung, Dr. Tiara Nirmala, mengatakan keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga LPG 3 kilogram selama 18 tahun terakhir merupakan bentuk keberpihakan terhadap masyarakat kecil.

Ia menilai kebijakan tersebut diambil dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi rakyat.

‎“Pemerintah masih mempertimbangkan daya beli masyarakat. Karena gas ini termasuk kebutuhan pokok, pemerintah berhati-hati agar perubahan skema subsidi tidak menurunkan daya beli masyarakat,” ujar Tiara, dalam diskusi publik bertema “Sudut Pandang Energi: Refleksi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran” yang digelar di Cafe Zozo Garden, Bandar Lampung, Kamis (23/10/2025).

‎Menurutnya, LPG 3 kilogram telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat, terutama di pedesaan.

Jika harganya disesuaikan langsung dengan mekanisme pasar, hal itu berisiko menekan daya beli masyarakat dan memicu inflasi di tingkat rumah tangga.

Kondisi ini berbeda dengan skema subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang kini sudah mengikuti mekanisme pasar global.

‎“Sekarang subsidi BBM sudah berubah, mengikuti harga minyak dunia. Kalau naik, ya harga dalam negeri juga menyesuaikan. Pemerintah ingin masyarakat miskin tidak bertambah, malah berkurang. Tapi kalau harga LPG diserahkan ke pasar, masyarakat menengah ke bawah akan terdampak dan daya belinya turun,” jelasnya.

‎Meski begitu, Tiara mengakui tantangan terbesar dari kebijakan subsidi LPG 3 kilogram adalah soal ketepatan sasaran.

Untuk itu, pemerintah tengah menyiapkan sistem data sosial ekonomi tunggal agar penyaluran subsidi lebih tepat kepada masyarakat yang berhak.

‎Sementara itu, pakar energi dari Institut Teknologi Sumatera (Itera), Rishal Asri, menilai kebijakan harga tetap (fixed price) LPG 3 kilogram masih relevan untuk kondisi ekonomi saat ini.

Menurutnya, kebijakan tersebut memberikan pemerataan bagi seluruh masyarakat Indonesia meskipun memiliki konsekuensi fiskal bagi negara.

‎“Kalau harganya fixed, memang ada pemerataan untuk seluruh Indonesia. Tapi kalau mengikuti pasar, yang paling rugi tentu masyarakat kecil. Jadi pilihan harga tetap ini lebih aman dalam jangka pendek,” kata Rishal.

‎Namun ia menekankan, pemerintah perlu memperbaiki sistem distribusi agar masyarakat benar-benar dapat membeli LPG sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET).

Menurutnya, perbedaan harga di lapangan sering terjadi karena panjangnya rantai distribusi dan belum optimalnya sistem pendataan penerima subsidi.

‎Rishal juga menilai, penerapan sistem digital seperti QR Code dapat menjadi solusi jangka panjang untuk menyalurkan LPG bersubsidi secara lebih transparan dan tepat sasaran.

‎“QR Code bisa jadi solusi ke depan. Dengan begitu, subsidi LPG 3 kilogram bisa lebih transparan, tepat sasaran, dan setiap transaksi tercatat,” pungkasnya. (*)