• Kamis, 23 Oktober 2025

Seandainya Metro Punya Sirkuit Road Race, Oleh: Arby Pratama

Kamis, 23 Oktober 2025 - 11.36 WIB
86

Ilustrasi harapan pemuda dan komunitas otomotif miliki sirkuit balap di Metro. Foto: AI

Kupastuntas.co, Metro - Bayangkan suatu sore di Kota Metro. Deru motor balap meraung di lintasan aspal yang rapi. Di sekelilingnya, ribuan penonton memenuhi tribun, pedagang kaki lima menjajakan makanan khas lokal, dan hotel-hotel di Metro yang biasanya sepi mendadak penuh.

Sebuah festival otomotif yang tak hanya memacu adrenalin, tapi juga ekonomi rakyat. Itulah imajinasi sederhana jika Metro punya sirkuit road race sendiri.

Wali Kota Metro H. Bambang Iman Santoso pernah melontarkan ide brilian, membangun sirkuit permanen di Kota Metro. Tujuannya bukan semata demi prestise, tapi juga untuk menghapus praktik balap liar yang sering memakan korban di jalanan umum.

Sebuah langkah progresif yang selaras dengan semangat anak muda Metro, kota yang disebut-sebut sebagai kota pendidikan, tapi juga tengah bergeliat di bidang ekonomi kreatif dan olahraga otomotif.

Namun, ide itu belum benar-benar lepas dari garis start. Masalah klasik menahan lajunya, yaitu problematika anggaran dan lahan.

Membangun sirkuit bukan perkara mudah. Sebuah sirkuit dengan standar minimal panjang lintasan 1,2 km dengan fasilitas paddock, pagar pengaman, dan tribun sederhana, bisa menelan biaya berkisar Rp15 hingga Rp25 miliar. Bagi kota kecil seperti Metro, angka itu tentu bukan nominal kecil.

Kini pertanyaannya apakah Metro mampu membangun sirkuit tanpa menggandeng pihak ketiga. Atau, beranikah pemerintah kota mengundang investor swasta untuk berkolaborasi membangun sircuit?.

Jika hanya mengandalkan APBD, pembangunan itu bisa jadi mimpi panjang. Tapi jika melibatkan sektor swasta, BUMN, hingga komunitas otomotif, peluangnya jauh lebih terbuka. Masalahnya, sejauh ini belum terlihat langkah konkret ke arah sana. Wacana sirkuit masih jadi bahan diskusi, belum menjadi proyek visioner.

Jika sirkuit itu benar-benar terwujud, dampaknya akan luar biasa. Bayangkan, setiap kali ada event road race, ratusan pembalap dan kru datang ke Metro. Hotel, penginapan, dan homestay penuh. Warung dan kafe sekitar ikut ramai.

Penjual suku cadang dan bengkel lokal ikut menggeliat. Produk-produk lokal seperti kopi, makanan ringan dan souvenir laris diborong wisatawan. Masyarakat juga kebagian rezeki, khususnya warung-warung kecil di pinggir jalan menuju lokasi sircuit.

Ini bukan khayalan kosong. Lihat saja sirkuit Gokart Taman Pinang di Sidoarjo atau sirkuit Sentul di Bogor. Setiap kali ada event, perekonomian warga sekitar ikut menanjak. Sebuah sirkuit tak hanya menjadi tempat balapan, tapi juga pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Selain dana, lahan juga menjadi kendala utama. Apakah Metro punya area cukup luas dan representatif untuk sirkuit. Kota Metro hanya seluas sekitar 68 km persegi, wilayah kecil yang nyaris habis oleh pemukiman, sekolah, dan fasilitas publik.

Alternatif yang kerap muncul adalah memanfaatkan lahan milik pemerintah di wilayah pinggiran Kota seperti di kawasan Stadion dan Metro Selatan atau kawasan Capit Urang di Metro Utara yang masih relatif lapang. Namun, pembangunan sirkuit juga harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah alias RTRW agar tidak melanggar zona peruntukan.

Komunitas otomotif di Metro terus tumbuh. Ada ratusan club motor dan ada pula puluhan komunitas motor balap hingga motor custom yang sudah lama menunggu ruang berekspresi. Sayangnya, tanpa sirkuit, gairah itu tumpah ke jalanan umum. Balap liar masih kerap terjadi di sejumlah ruas jalan, terutama di kawasan Jalan Jendral Sudirman pada malam minggu.

Mereka sebenarnya tidak kekurangan semangat, mereka hanya kekurangan wadah. Dan di situlah urgensi sirkuit menjadi nyata, bukan hanya soal ekonomi, tapi juga keselamatan dan pembinaan.

Jika anggaran APBD terbatas, Metro perlu berpikir kreatif. Sirkuit tak harus langsung megah dan bertaraf nasional. Bisa dimulai dari mini sirkuit yang multifungsi, dapat digunakan untuk latihan pembalap lokal, ajang road race tingkat provinsi, hingga lokasi edukasi keselamatan berkendara bagi pelajar.

Konsep ini bisa diwujudkan melalui kolaborasi pemerintah, swasta, dan komunitas. Pemerintah menyediakan lahan, swasta membantu pembangunan dan manajemen, sedangkan komunitas otomotif mengelola event dan pemeliharaannya.

Skema seperti ini terbukti berhasil di beberapa kota lain, seperti Madiun dan Tegal yang memulai dengan lintasan kecil namun akhirnya berkembang menjadi pusat wisata otomotif.

Menurut saya, sudah saatnya Metro tidak takut bermimpi besar. Sirkuit bukan hanya mimpi para pembalap muda. Itu adalah simbol kota yang berani bergerak maju. Kota yang ingin menyalurkan energi anak mudanya ke arah positif, sekaligus menciptakan efek domino ekonomi.

Kini, bola itu ada di tangan Pemerintah Kota Metro.

Apakah ide sirkuit hanya akan berhenti di wacana konferensi pers, atau benar-benar menjadi proyek nyata yang mengubah wajah kota. Karena di balik deru mesin dan semangat balap, tersimpan sebuah pesan sederhana, bahwa Metro butuh tempat untuk melaju yang bukan sekadar bermimpi. (*)