Seandainya Metro Punya Sirkuit Road Race, Oleh: Arby Pratama

Ilustrasi harapan pemuda dan komunitas otomotif miliki sirkuit balap di Metro. Foto: AI
Kupastuntas.co, Metro - Bayangkan suatu sore
di Kota Metro. Deru motor balap meraung di lintasan aspal yang rapi. Di
sekelilingnya, ribuan penonton memenuhi tribun, pedagang kaki lima menjajakan
makanan khas lokal, dan hotel-hotel di Metro yang biasanya sepi mendadak penuh.
Sebuah festival otomotif yang tak hanya
memacu adrenalin, tapi juga ekonomi rakyat. Itulah imajinasi sederhana jika
Metro punya sirkuit road race sendiri.
Wali Kota Metro H. Bambang Iman Santoso
pernah melontarkan ide brilian, membangun sirkuit permanen di Kota Metro.
Tujuannya bukan semata demi prestise, tapi juga untuk menghapus praktik balap
liar yang sering memakan korban di jalanan umum.
Sebuah langkah progresif yang selaras dengan
semangat anak muda Metro, kota yang disebut-sebut sebagai kota pendidikan, tapi
juga tengah bergeliat di bidang ekonomi kreatif dan olahraga otomotif.
Namun, ide itu belum benar-benar lepas dari
garis start. Masalah klasik menahan lajunya, yaitu problematika anggaran dan
lahan.
Membangun sirkuit bukan perkara mudah. Sebuah
sirkuit dengan standar minimal panjang lintasan 1,2 km dengan fasilitas
paddock, pagar pengaman, dan tribun sederhana, bisa menelan biaya berkisar Rp15
hingga Rp25 miliar. Bagi kota kecil seperti Metro, angka itu tentu bukan
nominal kecil.
Kini pertanyaannya apakah Metro mampu
membangun sirkuit tanpa menggandeng pihak ketiga. Atau, beranikah pemerintah
kota mengundang investor swasta untuk berkolaborasi membangun sircuit?.
Jika hanya mengandalkan APBD, pembangunan itu
bisa jadi mimpi panjang. Tapi jika melibatkan sektor swasta, BUMN, hingga
komunitas otomotif, peluangnya jauh lebih terbuka. Masalahnya, sejauh ini belum
terlihat langkah konkret ke arah sana. Wacana sirkuit masih jadi bahan diskusi,
belum menjadi proyek visioner.
Jika sirkuit itu benar-benar terwujud,
dampaknya akan luar biasa. Bayangkan, setiap kali ada event road race, ratusan
pembalap dan kru datang ke Metro. Hotel, penginapan, dan homestay penuh. Warung
dan kafe sekitar ikut ramai.
Penjual suku cadang dan bengkel lokal ikut
menggeliat. Produk-produk lokal seperti kopi, makanan ringan dan souvenir laris
diborong wisatawan. Masyarakat juga kebagian rezeki, khususnya warung-warung
kecil di pinggir jalan menuju lokasi sircuit.
Ini bukan khayalan kosong. Lihat saja sirkuit
Gokart Taman Pinang di Sidoarjo atau sirkuit Sentul di Bogor. Setiap kali ada
event, perekonomian warga sekitar ikut menanjak. Sebuah sirkuit tak hanya
menjadi tempat balapan, tapi juga pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Selain dana, lahan juga menjadi kendala
utama. Apakah Metro punya area cukup luas dan representatif untuk sirkuit. Kota
Metro hanya seluas sekitar 68 km persegi, wilayah kecil yang nyaris habis oleh
pemukiman, sekolah, dan fasilitas publik.
Alternatif yang kerap muncul adalah
memanfaatkan lahan milik pemerintah di wilayah pinggiran Kota seperti di
kawasan Stadion dan Metro Selatan atau kawasan Capit Urang di Metro Utara yang
masih relatif lapang. Namun, pembangunan sirkuit juga harus memperhatikan
Rencana Tata Ruang Wilayah alias RTRW agar tidak melanggar zona peruntukan.
Komunitas otomotif di Metro terus tumbuh. Ada
ratusan club motor dan ada pula puluhan komunitas motor balap hingga motor
custom yang sudah lama menunggu ruang berekspresi. Sayangnya, tanpa sirkuit,
gairah itu tumpah ke jalanan umum. Balap liar masih kerap terjadi di sejumlah
ruas jalan, terutama di kawasan Jalan Jendral Sudirman pada malam minggu.
Mereka sebenarnya tidak kekurangan semangat,
mereka hanya kekurangan wadah. Dan di situlah urgensi sirkuit menjadi nyata,
bukan hanya soal ekonomi, tapi juga keselamatan dan pembinaan.
Jika anggaran APBD terbatas, Metro perlu
berpikir kreatif. Sirkuit tak harus langsung megah dan bertaraf nasional. Bisa
dimulai dari mini sirkuit yang multifungsi, dapat digunakan untuk latihan
pembalap lokal, ajang road race tingkat provinsi, hingga lokasi edukasi
keselamatan berkendara bagi pelajar.
Konsep ini bisa diwujudkan melalui kolaborasi
pemerintah, swasta, dan komunitas. Pemerintah menyediakan lahan, swasta
membantu pembangunan dan manajemen, sedangkan komunitas otomotif mengelola
event dan pemeliharaannya.
Skema seperti ini terbukti berhasil di
beberapa kota lain, seperti Madiun dan Tegal yang memulai dengan lintasan kecil
namun akhirnya berkembang menjadi pusat wisata otomotif.
Menurut saya, sudah saatnya Metro tidak takut
bermimpi besar. Sirkuit bukan hanya mimpi para pembalap muda. Itu adalah simbol
kota yang berani bergerak maju. Kota yang ingin menyalurkan energi anak mudanya
ke arah positif, sekaligus menciptakan efek domino ekonomi.
Kini, bola itu ada di tangan Pemerintah Kota
Metro.
Apakah ide sirkuit hanya akan berhenti di
wacana konferensi pers, atau benar-benar menjadi proyek nyata yang mengubah
wajah kota. Karena di balik deru mesin dan semangat balap, tersimpan sebuah
pesan sederhana, bahwa Metro butuh tempat untuk melaju yang bukan sekadar
bermimpi. (*)
Berita Lainnya
-
Pemkot Metro Bakal Evaluasi Penerima Bansos Terbukti Main Judi Online
Kamis, 23 Oktober 2025 -
Blak-blakan Wakil Walikota Beberkan Segudang Masalah di Kota Metro
Rabu, 22 Oktober 2025 -
Jurnalis Kupas Tuntas Raih Penghargaan Peduli Lingkungan dari GML
Rabu, 22 Oktober 2025 -
Lukman Hakim: Kadis Pendidikan Harus Punya Pengalaman Mengajar
Selasa, 21 Oktober 2025