• Senin, 03 November 2025

Pengamat: Kenaikan Anggaran BPJS Kota Metro Belum Sentuh Akar Masalah

Senin, 03 November 2025 - 11.48 WIB
42

Pengamat Kebijakan Publik FISIP Universitas Dharma Wacana Metro, Pindo Riski Saputra. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Metro - Kebijakan Pemerintah Kota Metro menaikkan anggaran perlindungan sosial bagi pekerja rentan melalui program BPJS Ketenagakerjaan sebesar 8,38 persen pada tahun 2025 mendapat sorotan dari kalangan akademisi.

Pengamat kebijakan publik dari FISIP Universitas Dharma Wacana (UDW) Metro, Pindo Riski Saputra, menilai langkah tersebut patut diapresiasi, namun belum menyentuh akar persoalan perlindungan sosial di tingkat pekerja rentan.

Menurutnya, peningkatan anggaran dari Rp1,69 miliar menjadi Rp1,84 miliar hanyalah permukaan dari gunung es, karena masalah mendasar justru terletak pada basis data pekerja rentan yang belum mutakhir dan sistem pendataan antarinstansi yang belum sinkron.

"Kita harus hati-hati menyebut ini sebagai keberhasilan. Kenaikan anggaran memang penting, tapi tanpa data yang akurat, kebijakan itu berisiko tidak tepat sasaran. Ada pekerja yang seharusnya terlindungi tapi tidak terdaftar, sementara yang sudah mapan justru menerima manfaat,” ujar Pindo kepada Kupastuntas.co, Senin (3/11/2025).

Ia menilai, paradigma kebijakan sosial Pemkot Metro masih didominasi pendekatan administratif, bukan empatik. Banyak pekerja informal di sektor jasa, UMKM, hingga tenaga harian, menurutnya, belum memahami manfaat maupun cara mengakses BPJS Ketenagakerjaan.

"Perlindungan sosial bukan sekadar membayar iuran dari APBD. Ini soal membangun kesadaran dan rasa aman. Kalau pekerja hanya didaftarkan tanpa tahu hak dan mekanismenya, program ini hanya bersifat kosmetik,” tegasnya.

Pindo menambahkan, meski tren belanja sosial Metro mulai menunjukkan arah positif dalam dua tahun terakhir, politik anggaran masih tersandera oleh logika proyek fisik.

"Beton lebih terlihat daripada perlindungan sosial. Padahal kalau pemerintah berpikir jangka panjang, menjaga pekerja dari risiko sosial adalah investasi pembangunan manusia,” ujarnya.

Ia mendorong agar kenaikan anggaran ini dimanfaatkan untuk membangun pemetaan sosial (social mapping) baru dan memperluas cakupan pekerja rentan, terutama di sektor berisiko tinggi seperti petani penggarap, pedagang kaki lima, dan pengemudi ojek daring.

Selain itu, Pindo juga menekankan pentingnya transparansi pelaksanaan program. Pemkot Metro, katanya, perlu membuka data jumlah penerima manfaat, jenis pekerja yang ditanggung, serta mengukur efektivitas program dalam menekan risiko sosial ekonomi.

Ia mengusulkan agar pemerintah daerah menggandeng perguruan tinggi, komunitas, dan organisasi pekerja untuk memperkuat literasi jaminan sosial, sehingga kebijakan tidak berhenti di meja birokrasi tetapi menjadi gerakan sosial di lapangan.

"Kalau Metro ingin jadi kota yang benar-benar manusiawi, ukurannya bukan berapa kilometer jalan dibangun, tapi seberapa banyak warganya yang tidak takut jatuh miskin karena kecelakaan kerja atau kehilangan penghasilan,” tandas Pindo.

Kenaikan anggaran BPJS Ketenagakerjaan di Metro memang menunjukkan komitmen terhadap perlindungan sosial, namun kritik pengamat menjadi pengingat bahwa kebijakan publik tidak cukup dibangun dengan uang, melainkan juga dengan data yang akurat, transparansi, dan empati terhadap kelompok paling rentan. (*)