• Kamis, 06 November 2025

Kisah Pesantren Sampah, Ubah Limbah Jadi Rupiah

Kamis, 06 November 2025 - 10.03 WIB
42

Ketua GML Indonesia, Slamet Riadi saat menunjukkan hasil paving blok berbahan sampah plastik kresek dalam kegiatan pelatihan di Pesantren Sampah Nusantara, Metro Utara. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Di halaman sederhana Pesantren Sampah Nusantara di Jalan Kutilang, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Metro Utara, kepulan asap tipis terlihat keluar dari tungku pembakar. Di sekelilingnya, sejumlah orang mengenakan alat sederhana sibuk memilah plastik kresek berwarna hitam, merah, dan bening.

Bukan untuk dibuang, melainkan untuk diubah menjadi paving blok, material bangunan yang kuat, padat, dan tahan air serta bernilai rupiah. Di tengah terik siang itu, tumpukan sampah plastik bukan lagi wajah kotor kota, tetapi bahan baku masa depan.

“Setiap satu karung plastik kresek bisa jadi satu buah paving blok,” ujar Slamet Riadi, pria berusia 45 tahun yang kini dikenal sebagai founder Pesantren Sampah Nusantara sekaligus Ketua Gerakan Masyarakat Lokal (GML) Indonesia, Kamis (6/11/2025).

Suara Slamet terdengar tenang namun penuh keyakinan. Ia menunjuk tumpukan hasil produksi puluhan paving blok berwarna abu kehitaman dengan permukaan kokoh, hasil dari limbah plastik yang sebelumnya tak berharga.

“Kami memanfaatkan plastik yang tidak bisa didaur ulang lagi. Dari pada dibakar atau menumpuk di sungai, lebih baik diolah jadi paving. Ini bukan cuma soal kebersihan, tapi pemberdayaan,” kata Slamet.

Prosesnya sederhana namun membutuhkan ketelitian. Plastik kresek yang terkumpul dilelehkan diatas wajan bekas sederhana, lalu dicampur pasir dan bahan pengikat alami sebelum dicetak ke dalam cetakan paving. Setelah mendingin, hasilnya siap digunakan sebagai karya yang kuat, padat, dan ramah lingkungan.

Pesantren Sampah Nusantara bukan lembaga pendidikan formal, tapi atmosfernya seperti ruang belajar tanpa sekat. Di tempat ini, anak muda, ibu rumah tangga, hingga pegiat lingkungan datang silih berganti.

Mereka belajar bukan hanya teknik daur ulang, tetapi juga nilai gotong royong, kemandirian, dan keberanian melawan kebiasaan membuang sampah sembarangan.

“Kalau kita tidak punya keterampilan, kita hanya bisa mengeluh. Tapi kalau kita punya kemampuan, kita bisa menciptakan peluang,” tutur Slamet, menegaskan filosofi gerakan yang ia bangun.

Setiap anggota diajak memahami bahwa persoalan sampah bukan semata urusan pemerintah, melainkan tanggung jawab moral bersama. Dari tangan mereka, lahir produk yang punya potensi ekonomi baru yaitu paving blok dari plastik daur ulang yang mampu bersaing di pasar lokal.

Gerakan ini berawal dari keprihatinan Slamet melihat tumpukan sampah plastik di sekitar lingkungannya.

Alih-alih mengeluh, ia mengumpulkan kawan-kawan satu visi dari GML. Bersama para relawan, mereka memulai eksperimen kecil di halaman rumah.

“Awalnya gagal, plastiknya gosong atau pecah. Tapi setelah mencoba berulang kali, akhirnya kami menemukan suhu yang pas. Sekarang hasilnya lumayan bagus,” kata dia sambil tertawa kecil.

Kini, dengan dukungan puluhan anggota dan para pegiat lingkungan, Pesantren Sampah Nusantara menjadi laboratorium kecil gerakan lingkungan hidup di Metro.

Di antara para peserta pelatihan hari itu, tampak Intiyas Suprihatin, Ketua Divisi SDM dan Pendidikan Pesantren Sampah. Ia tampak sibuk membantu rekan-rekannya mengaduk campuran plastik dan pasir di wadah besar.

"Hari ini ada dua belas anggota yang ikut. Kami semua optimis bisa berkembang dengan pola gotong royong dan kesadaran bersama,” ujarnya, dengan senyum yang tak pudar meski tangannya masih berlumuran abu plastik.

Intiyas menilai gerakan ini lebih dari sekadar inovasi teknologi. Ia menyebutnya dengan ekonomi kesadaran, gerakan yang lahir dari kepedulian terhadap bumi, bukan dari ambisi keuntungan.

“Kalau kita bersama, sampah bukan lagi masalah. Ia justru jadi sumber rezeki dan pengetahuan,” tambahnya.

Sampah plastik selama ini dikenal sebagai jenis limbah paling sulit diurai, bahkan hingga ratusan tahun. Namun di tangan para pegiat Pesantren Sampah Nusantara, plastik itu justru menjadi simbol kemandirian dan ketangguhan warga lokal.

Setiap karung plastik yang diolah berarti satu karung limbah yang tidak lagi menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir. Setiap paving yang tercetak berarti langkah kecil menuju ekonomi sirkular, di mana limbah diputar kembali menjadi rupiah.

Slamet yakin, jika program ini didukung secara luas, Metro bisa menjadi kota percontohan pengelolaan sampah berbasis komunitas di Lampung.

“Kita tidak perlu menunggu investor besar datang. Yang kita butuh adalah kesadaran bersama. Kalau semua warga punya kepedulian, sampah tidak akan jadi momok,” ungkapnya.

Bagi para pegiat lingkungan, kegiatan ini bukan sekadar proyek. Ini adalah bentuk perlawanan diam terhadap sistem yang selama ini abai pada nasib bumi. Di tengah kota yang masih sibuk membangun beton dan menabur aspal, mereka memilih membangun kesadaran dari halaman kecil, dari tumpukan sampah, dari gerakan lokal yang berakar kuat.

Setiap paving blok yang mereka hasilkan adalah simbol perlawanan terhadap pesimisme. Simbol bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil, dari satu karung plastik, dari tangan-tangan warga yang percaya bahwa kebersihan bukan hanya slogan, tapi perjuangan.

Menjelang sore, suara alat cetak mulai berhenti. Para peserta menata hasil produksi hari itu di bawah kanopi sederhana. Matahari condong ke barat, memantulkan cahaya jingga di permukaan paving blok yang masih hangat.

Di atas setiap batu kecil itu, tersimpan kisah besar tentang harapan, kerja keras, dan keyakinan bahwa masa depan yang bersih bisa diciptakan oleh siapa saja, bahkan dari sesuatu yang dianggap sampah.

“Ini baru langkah awal. Dari sampah kita belajar bahwa yang kotor bisa jadi berkah, asal mau diolah dengan niat baik dan kerja bersama," tandas.

Dan di sudut kecil Metro, harapan itu kini benar-benar mulai mengeras, sekeras paving blok dari plastik daur ulang yang mereka hasilkan. (*)