• Sabtu, 08 November 2025

‎KPK Ungkap Modus Korupsi dan Lemahnya Pengawasan Pengadaan Barang dan Jasa di Pemprov Lampung

Sabtu, 08 November 2025 - 13.31 WIB
31

KPK melakukan supervisi ke Kantor DPRD Lampung. Foto: Ist

‎Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap sejumlah potensi kerawanan korupsi dan lemahnya pengawasan dalam tata kelola keuangan serta pengadaan barang dan jasa (PBJ) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung.

‎Paparan tersebut disampaikan oleh Deputi Koordinasi dan Supervisi (Koorsup) KPK Wilayah Lampung, Rusfian, dalam kegiatan bersama DPRD Provinsi Lampung di kantor DPRD Provinsi Lampung, Bandar Lampung, pada Kamis, 6 November 2025.

‎Kegiatan ini dihadiri oleh pimpinan dan anggota DPRD Lampung, serta menjadi bagian dari langkah sinergis KPK dengan pemerintah daerah untuk memperkuat sistem pencegahan korupsi, khususnya pada fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

‎Berdasarkan data Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) per 27 Oktober 2025, total paket pengadaan di Pemprov Lampung tercatat sebanyak 10.671 paket dengan pagu anggaran mencapai Rp2,7 triliun. Realisasi belanja pengadaan telah mencapai Rp2,8 triliun.

‎Namun KPK menekankan bahwa keberhasilan pengadaan tidak cukup diukur dari besarnya realisasi anggaran, tetapi dari integritas, transparansi, dan akuntabilitas proses yang dijalankan.

‎“Korupsi sering kali bermula dari hal kecil yang dianggap wajar, seperti gratifikasi. Jika tidak dikendalikan, itu berkembang menjadi suap dan pemerasan yang merusak sistem,” tegas Rusfian dalam paparannya.

‎KPK mengungkap bahwa praktik korupsi kerap terjadi di setiap tahapan PBJ, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban.

‎Beberapa modus yang sering ditemukan, antara lain :

‎1. Mark up harga dan spesifikasi barang yang diarahkan ke vendor tertentu.

‎2. Manipulasi pemenang tender dan benturan kepentingan antar pihak.

‎3. Kualitas pekerjaan rendah dan volume dikurangi.

‎4. Rekayasa berita acara serah terima agar proyek dinyatakan selesai.

‎Kolusi antara pengawas proyek dan rekanan, disertai pemberian suap agar laporan dinyatakan tuntas 100 persen meski belum sesuai kontrak.

‎Selain itu, KPK juga menyoroti adanya praktik komitmen fee proyek, di mana oknum pejabat meminta imbalan hingga 10 persen dari nilai kegiatan sebelum pelaksanaan dimulai.

‎KPK mencatat sedikitnya empat persoalan besar yang masih menjadi sumber rawan korupsi di daerah, yakni:

‎Kecurangan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan PBJ.

‎Suap dan pemerasan dalam perizinan akibat sistem pelayanan yang rumit dan tidak transparan.

‎Praktik jual beli jabatan di birokrasi pemerintahan daerah.

‎Kerugian keuangan negara akibat lemahnya sistem perpajakan, ketidakjelasan aset daerah, serta minimnya pemanfaatan teknologi pengawasan.

‎Dalam bidang perpajakan, KPK menyoroti praktik penetapan pajak yang tidak sesuai aturan, pemerasan terhadap wajib pajak, serta penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat pajak.

‎KPK mendorong pemerintah daerah melakukan langkah korektif seperti :

‎1. Pemeriksaan rutin terhadap wajib pajak tidak patuh.

‎2. Analisis terhadap pola pembayaran pajak yang tidak wajar.

‎3 Penagihan aktif terhadap piutang pajak.

‎4. Penyesuaian regulasi agar sesuai UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).

‎5. Sertifikasi Aset Daerah Belum Optimal

‎Hingga 31 Desember 2024, Pemprov Lampung memiliki 1.810 bidang tanah dengan nilai mencapai Rp2,3 triliun.

‎Dari jumlah tersebut, 1.635 bidang sudah bersertifikat, sementara 173 bidang masih dalam proses sertifikasi.

‎Realisasi sertifikasi hingga Oktober 2025 baru mencapai 24 persen, jauh dari target.

‎Menurut KPK, keterlambatan ini berpotensi menimbulkan konflik kepemilikan lahan serta membuka celah penyimpangan pengelolaan aset.

‎Dari sisi pelaporan kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), DPRD Provinsi Lampung mencatat tingkat kepatuhan 100 persen, sedangkan Pemprov Lampung baru mencapai 88,85 persen per 30 Oktober 2025.

‎KPK juga memberikan edukasi terkait perbedaan antara gratifikasi, suap, dan pemerasan:

‎Gratifikasi adalah pemberian tanpa kesepakatan yang wajib dilaporkan bila terkait jabatan.

‎Suap melibatkan kesepakatan rahasia antara pemberi dan penerima untuk memperoleh keuntungan.

‎Pemerasan terjadi ketika pejabat menggunakan tekanan atau ancaman demi keuntungan pribadi.

‎Rusfian mengingatkan pentingnya menjaga integritas DPRD Lampung dalam tiga fungsi utama: legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

‎Ia menegaskan bahwa fungsi-fungsi tersebut merupakan area yang paling rawan terhadap praktik suap dan gratifikasi jika tidak disertai dengan transparansi dan akuntabilitas.

‎Ketua DPRD Provinsi Lampung, Ahmad Giri Akbar, menyatakan bahwa pihaknya menyambut baik langkah pendampingan dan pengawasan KPK.

‎“DPRD Lampung berkomitmen memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Kami juga akan mendukung penguatan indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) dan Survei Penilaian Integritas (SPI) agar pengelolaan anggaran tahun 2026 semakin transparan,” ujar Giri Akbar. (*)