Kematian Harimau Sumatera, Pengamat: Cermin Retaknya Keadilan Ekologis
Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung, Dr. Benny Karya Limantara. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung, Dr. Benny Karya Limantara, mengungkapkan bahwa kematian seekor Harimau Sumatera jantan bernama Bakas di Lembah Hijau, Bandar Lampung, bukan sekadar kabar duka dari dunia konservasi.
"Ia adalah cermin retaknya keadilan ekologis di negeri ini, dan sekaligus potret kegagalan sistem hukum serta kebijakan lingkungan kita dalam menempatkan hak-hak alam sejajar dengan hak manusia," ungkap Benny, dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).
Menurutnya, Harimau yang dievakuasi dari kawasan Talang Kali Pasir, Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat itu sempat dirawat setelah ditemukan dengan luka bekas jerat dan cedera lama. Namun dalam proses pemindahan kandang, Bakas menabrakkan diri hingga mengalami pendarahan otak dan akhirnya mati.
"Tragedi ini menyisakan pertanyaan mendalam mengapa setiap konflik manusia dan satwa liar hampir selalu berakhir dengan kematian di pihak satwa?. Kematian Bakas memperlihatkan kuatnya paradigma antroposentrisme dalam kebijakan lingkungan di Indonesia," terangnya.
Benny melanjutkan, segala kebijakan sering kali berangkat dari kepentingan manusia keamanan warga, ekonomi, kenyamanan permukiman, sementara hak hidup satwa dan keseimbangan ekosistem ditempatkan sebagai urusan sekunder.
Paradigma seperti ini sangat berbahaya. Ia menempatkan alam hanya sebagai objek eksploitasi, bukan subjek kehidupan yang punya nilai intrinsik. Padahal, dalam pandangan ekosentris, manusia hanyalah bagian kecil dari sistem ekologis yang lebih luas.
Ketika satu spesies hilang, sistem itu kehilangan keseimbangannya dan akhirnya manusia pula yang akan merasakan akibatnya.
"Hukum lingkungan kita sebenarnya telah mengakui hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28H dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," ujarnya.
Namun dalam praktiknya, penegakan keadilan ekologis sering berhenti pada kepentingan administratif dan prosedural.
"Satwa liar yang terluka atau terbunuh jarang dianggap sebagai korban pelanggaran hukum seolah kematiannya hanyalah “kecelakaan” konservasi," katanya.
Padahal, lanjutnya, di dalam pendekatan hukum lingkungan modern, setiap unsur alam memiliki nilai dan hak untuk dilindungi. Ketika harimau tewas akibat kesalahan penanganan, sebenarnya telah terjadi pelanggaran terhadap hak ekologis itu sendiri.
"Keadilan ekologis bukan hanya tentang kompensasi atau rehabilitasi, tapi tentang menjamin hak semua makhluk hidup untuk eksis dalam ruang ekologi yang setara," tegasnya.
Kematian satu individu harimau mungkin tampak kecil, tetapi ia membawa dampak besar terhadap keanekaragaman genetik dan keberlanjutan spesies. Setiap hilangnya individu berarti hilangnya warisan ekologis bagi generasi mendatang.
Itulah mengapa peristiwa seperti ini sesungguhnya melanggar prinsip keadilan antar generasi, yakni tanggung jawab moral dan hukum kita untuk mewariskan lingkungan yang lestari bagi anak cucu.
"Generasi kini telah menikmati hasil eksploitasi alam, tetapi meninggalkan kerusakan dan kepunahan bagi generasi berikutnya. Keadilan lingkungan seharusnya tidak berhenti pada generasi saat ini, melainkan menjangkau masa depan," terangnya.
Ia menegaskan, kematian Bakas harus menjadi alarm keras bahwa sistem konservasi satwa liar di Indonesia perlu pembaruan mendasar. Penanganan konflik manusia dengan satwa tidak boleh hanya berorientasi pada keselamatan manusia, tetapi juga harus menjamin keselamatan satwa.
Standar operasional penanganan konflik perlu diaudit, fasilitas karantina diperbaiki, dan koordinasi lintas lembaga diperkuat.
"Lebih dari itu, kita perlu membangun paradigma hukum lingkungan yang berkeadilan ekologis di mana hukum tidak hanya melindungi manusia, tetapi juga memberi ruang bagi alam untuk mempertahankan keberadaannya," terangnya.
Ia menambahkan, selama kebijakan masih bersandar pada ego manusia, tragedi seperti Bakas akan terus berulang, dan satu per satu penjaga hutan terakhir akan mati di tangan peradaban yang mengaku modern.
"Keadilan ekologis bukan pilihan moral semata, melainkan syarat keberlangsungan hidup kita sendiri. Dan selama kita masih gagal memahami hal itu, setiap kematian satwa langka adalah refleksi dari kematian nurani kita sebagai manusia," pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
3.229 Ton Beras SPHP Terdistribusi Lewat Gerakan Pangan Murah Polda Lampung
Senin, 10 November 2025 -
Wagub Lampung Jihan Ajak Generasi Muda Teladani Semangat Juang Para Pahlawan
Senin, 10 November 2025 -
DPD PDI Perjuangan Lampung Ziarah dan Tabur Bunga di Taman Makam Pahlawan
Senin, 10 November 2025 -
ASTINDO Lampung Imbau Wisatawan Berhati-hati Terhadap Penawaran Paket Wisata Murah Menjelang Natal dan Tahun Baru
Senin, 10 November 2025









