• Senin, 10 November 2025

Saat Rimba Sumatera Kehilangan Suara

Senin, 10 November 2025 - 09.02 WIB
11

Saat Rimba Sumatera Kehilangan Suara. Foto: Ilustrasi_AI

Kupastuntas.co, Lampung Barat - Di balik dinding besi yang dingin, tubuh Bakas terkulai tanpa nyawa. Jumat sore itu, 7 November 2025, rimba Sumatra seakan kehilangan satu suara yang dulu bergema lantang di antara pepohonan lebat.

Harimau jantan dengan identitas ID 13 RL Male itu telah melewati hari-hari terakhirnya dalam bingkai ketidakpastian, dan berakhir dengan sunyi yang menyayat hati di kandang perawatan Lembah Hijau Lampung.

Bakas pernah menjadi penguasa hutan di Talang Kali Pasir. Ketika ia tertangkap pada 29 Oktober, luka-luka lama tersingkap sebagai bukti perjalanan panjangnya: bekas ikatan di pinggang, luka di pangkal pinggang kiri, dan hilangnya dua jari kaki kanan depan.

Tubuh yang gagah itu menyimpan cerita tentang dunia liar yang semakin sempit, dunia yang memaksanya mendekat ke permukiman manusia demi bertahan hidup.

Saat dipindahkan dari Pusat Penyelamatan Satwa Lampung ke Lembaga Konservasi Lembah Hijau, para petugas sebenarnya berusaha menyelamatkannya. Kandang angkut di PPS mulai rusak, dikhawatirkan jebol oleh satwa agresif itu.

Pemindahan dilakukan demi keselamatan warga, sekaligus memberi harimau itu ruang perawatan lebih layak. Tapi siapa sangka, langkah penyelamatan itu justru menjadi langkah terakhir dalam hidup Bakas.

Ketika pintu kandang perawatan ditutup di belakangnya, Bakas terlihat gelisah. Ia mondar-mandir, matanya liar, seolah mencari hutan yang pernah melindunginya.

Dalam hitungan detik, ia menabrakkan kepalanya ke dinding kandang. Sekali. Dua kali. Lalu tiga kali. Dentumannya terdengar seperti benturan antara masa lalu yang kelam dan realitas yang tak bisa ia terima.

Pada benturan terakhir, tubuhnya terjatuh. Kakinya kejang, napasnya tersengal. Dalam beberapa menit, tak ada lagi gerak yang muncul dari tubuh yang pernah menjadi simbol kekuatan liar itu. 

Dokter hewan hanya bisa menatap pasrah sebelum akhirnya menyatakan Bakas telah mati. Kematian yang tidak diinginkan siapa pun, tapi lahir dari luka-luka yang tidak pernah sempat ia ceritakan.

Nekropsi dilakukan malam itu juga. Hasilnya jelas: pendarahan otak akibat benturan benda tumpul, menyebabkan mati otak.

Di balik kesimpulan medis yang dingin, terselip pertanyaan yang lebih hangat, namun menyakitkan, apa yang sebenarnya ditakutkan Bakas hingga ia menghantamkan kepala berkali-kali? Trauma masa lalu? Penjara yang terlalu sempit? Atau hutan yang tak lagi memanggil namanya?

Di mata para petugas, Bakas memang agresif. Namun di balik amarahnya, ada luka yang mungkin jauh lebih dalam.

Luka yang lahir dari kehilangan ruang hidup, kehilangan kebebasan, dan kehilangan kepercayaan kepada dunia yang berubah terlalu cepat untuk seekor harimau liar. Setiap tatapan mata yang menyala bukan semata ancaman, melainkan jeritan meminta pulang.

Kini, kadaver Bakas disimpan di PPS Lampung, sementara aparat memastikan bahwa penanganan telah dilakukan sesuai prosedur. Namun prosedur tak bisa menyembuhkan kekosongan yang ditinggalkannya.

Ia bukan hanya sebuah angka dalam statistik konflik satwa dan manusia. Ia adalah satu nyawa yang menyimbolkan rapuhnya garis batas antara hutan yang menyusut dan manusia yang terus memperluas ruang hidupnya.

Di rimba yang semakin sunyi, kepergian Bakas adalah kehilangan lain yang menambah daftar panjang tragedi satwa liar.

Suaranya mungkin telah padam, tetapi kisahnya berbisik: bahwa setiap belukar yang hilang, setiap pohon yang tumbang, setiap jejak harimau yang lenyap adalah peringatan.

Peringatan bahwa alam sedang terluka, dan kita menyaksikannya tanpa benar-benar mendengar jeritannya. (*)