• Jumat, 14 November 2025

Harapan Baru di Ladang Jagung

Jumat, 14 November 2025 - 11.38 WIB
17

Harapan Baru di Ladang Jagung. Foto: Ilustrasi_AI

Kupastuntas.co, Lampung Utara - Di antara hamparan ladang yang mulai menguning di Kecamatan Sungkai Barat, Lampung Utara, cerita para petani perlahan berubah.

Bukan lagi tentang singkong, tanaman yang puluhan tahun menjadi tumpuan hidup melainkan tentang jagung, komoditas yang kini mereka anggap sebagai 'tempat bernaung terakhir'.

Sekitar 80 persen petani di wilayah itu ramai-ramai mengganti tanamannya. Dari yang semula menanam singkong, tangan-tangan yang sama kini menabur benih jagung di lahan mereka.

Data penyuluh pertanian lapangan (PPL) mencatat perubahan yang mencolok: luas tanam jagung yang sebelumnya hanya 1.200 hektare, kini melejit menjadi sekitar 5.600 hektare.

Bagi petani seperti Budiman Ilahan, keputusan itu bukan pilihan mudah, melainkan bentuk bertahan hidup.

"Harga singkong jatuh, potongannya besar. Kami bukan lagi dapat untung, tapi malah tekor,” ujarnya, dilansir dari tribunnews, Jumat (14/11/2025).

Pada tingkat petani, harga singkong memang berada di kisaran Rp 1.350 per kilogram. Namun potongan kadar air mencapai 40 sampai 45 persen. Dari satu karung penuh, hampir separuh dianggap “menghilang”.

"Alasannya kadar air. Tapi kami tidak tahu cara hitungnya. Kami ini petani desa, bukan insinyur,” kata Budiman, suaranya menyisakan letih.

Ia bercerita, Peraturan Gubernur Lampung yang mengatur harga singkong tak terasa membawa perubahan di lapangan.

Alih-alih menerapkan aturan, sejumlah pabrik tapioka justru menutup pintu. Truk-truk yang biasanya antre berhari-hari kini berhenti datang.

Banyak singkong dibiarkan membusuk di kebun—tanpa nilai, tanpa harapan. Namun perjalanan menuju jagung pun bukan tanpa rintangan.

Pada musim tanam akhir Oktober hingga awal November, penyakit bulai menyerang lahan-lahan muda. Daun jagung memutih, tanaman merana, dan petani kembali dihantui kegagalan.

"Sudah berbagai obat dicoba, tapi belum maksimal. Harapan kami pemerintah bantu bibit tahan penyakit,” kata Budiman.

Modal menjadi persoalan lain. Mayoritas petani mengandalkan tabungan pribadi atau bantuan pengepul yang memberikan bibit dan pupuk dengan sistem bayar saat panen. Artinya, satu kegagalan saja dapat menyeret mereka pada kerugian berlapis.

Meski demikian, para petani tetap menaruh harapan pada jagung. Mereka menggantungkan doa pada panen akhir Desember. Satu hal saja yang mereka minta: harga tidak ikut jatuh seperti singkong.

"Kalau pas panen harga jagung anjlok juga, kami makin terjepit,” ucap Budiman pelan.

Di Sungkai Barat, setiap benih yang disemai bukan sekadar pekerjaan rutin, melainkan perjuangan mempertahankan kehidupan.

Petani telah melepaskan singkong yang selama puluhan tahun menjadi identitas mereka. Kini, di bawah terik yang sama, mereka menunggu masa depan yang lebih pasti, meski masih dibayangi ketidakpastian. (*)