Efektivitas KUHAP Tergantung Komitmen Aparat Penegak Hukum
Ketua Umum DPP Advokat Bela Rakyat (ABR) Hermawan. Foto: Ist
Kupastuntas.co,
Bandar Lampung - Efektivitas penerapan KUHAP yang baru disahkan sangat
bergantung pada komitmen aparat penegak hukum dalam menjunjung prinsip keadilan
dan hak asasi manusia. Tanpa perubahan pola kerja dan pengawasan yang kuat,
reformasi hukum acara tersebut dikhawatirkan hanya akan menjadi aturan di atas
kertas.
DPP
Advokat Bela Rakyat (ABR) Indonesia ikut menyoroti Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan oleh DPR RI pada Selasa (18/11/2025).
KUHAP baru ini akan mulai berlaku efektif pada 2 Januari 2026.
Ketua
Umum DPP ABR Indonesia, Hermawan, menilai hadirnya KUHAP baru merupakan upaya
pemerintah dalam memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia.
Ia
menegaskan bahwa efektivitas aturan baru tersebut sangat bergantung pada
komitmen aparat penegak hukum serta partisipasi masyarakat.
“Dalam
hal jaminan apakah KUHAP terbaru ini lebih baik atau tidak ke depannya, menurut
saya ini merupakan sebuah ikhtiar. Jaminannya adalah bagaimana proses
berjalannya KUHAP ini oleh aparat penegak hukum dan masyarakat,” ujar Hermawan,
Kamis (20/11/2025).
Menurutnya,
rasa keadilan tidak hanya ditentukan oleh aturan yang tertulis, tetapi juga
bergantung pada konsistensi aparat dalam menegakkan hukum.
“Menyoal
rasa keadilan kembali kepada komitmen penegak hukum dalam menjalankan aturan
tersebut,” tambahnya.
Hermawan
juga menyebutkan bahwa penyusunan KUHAP yang baru berangkat dari aspirasi
publik serta kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pelayanan hukum di berbagai
aspek.
Karena
itu, ia mendorong pemerintah untuk memperbanyak sosialisasi agar masyarakat
benar-benar memahami ketentuan baru tersebut.
“Saya
sebagai bagian dari penegak hukum menyarankan agar sosialisasi KUHAP ini lebih
diperbanyak agar masyarakat memahami KUHAP baru ini,” katanya.
Ia
percaya bahwa penyempurnaan aturan ke depan tetap dimungkinkan setelah
diterapkan, mengingat penyusunan KUHAP telah dilakukan secara maksimal oleh
pemerintah dan DPR RI. Perbedaan pendapat di masyarakat dinilainya sebagai hal
yang wajar.
“Pro
dan kontra tidak akan pernah selesai dalam setiap pasal. Saya kira jalankan
saja dulu,” pungkasnya.
Sebelumnya,
dalam siaran persnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai
setidaknya ada delapan poin perubahan yang bermasalah dalam RUU KUHAP.
Pertama,
Operasi Undercover Buy dan Controlled Delivery. YLBHI
menilai RUU KUHAP memberikan kewenangan bagi aparat penegak hukum (APH) untuk melakukan
operasi pembelian terselubung dan pengiriman di bawah pengawasan pada semua
jenis tindak pidana. Operasi yang sebelumnya hanya diperbolehkan untuk kasus
narkotika itu dinilai berisiko menimbulkan praktik rekayasa kasus.
“Kewenangan
luas tanpa pengawasan ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment)
oleh aparat penegak hukum,” tulis YLBHI.
Kedua,
perluasan dalih “mengamankan”. Dalam RUU KUHAP, tindakan penggeledahan,
pencekalan hingga penangkapan dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan, sebelum
tindak pidana terkonfirmasi.
“Dalam
Pasal 5 KUHAP existing, tindakan pada tahap penyelidikan sangat terbatas dan
sama sekali tidak diperbolehkan penahanan,” tulis YLBHI.
Ketiga,
penangkapan dan penahanan di luar izin hakim. YLBHI menyoroti ketiadaan
mekanisme pengawasan lembaga pengadilan terhadap upaya paksa sehingga membuka
ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak adanya pemeriksaan habeas corpus.
Keempat,
penyadapan tanpa izin hakim. Ketentuan tersebut dinilai rawan penyalahgunaan
kewenangan.
“RUU
KUHAP memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa
izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk,”
tulis YLBHI.
Kelima,
celah dalam mekanisme keadilan restoratif (restorative
justice). Penghentian penyelidikan tidak diharuskan dilaporkan
kepada otoritas manapun sehingga rawan praktik ilegal dan pemaksaan damai dalam
ruang gelap penyelidikan.
“Bagaimana
mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban?”
tambah YLBHI.
Keenam,
perluasan kewenangan polisi. Diktum peralihan PPNS dan penyidik khusus di bawah
koordinasi kepolisian dinilai berpotensi menimbulkan monopoli penanganan
perkara.
Ketujuh,
inklusivitas proses hukum. RUU KUHAP masih dinilai belum ramah bagi penyandang
disabilitas sehingga cenderung diskriminatif.
Kedelapan,
proses pembahasan yang terburu-buru. YLBHI menyoroti ketiadaan masa transisi,
belum adanya aturan pelaksana, serta ketidaksesuaian kebutuhan KUHP dalam KUHAP
baru. Kondisi tersebut berpotensi membuat penerapan KUHAP yang baru tidak
optimal pada tahun pertama. (*)
Berita ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Jumat 21
November 2025 dengan judul “Efektivitas
KUHAP Tergantung Komitmen Aparat Penegak Hukum”
Berita Lainnya
-
Komisi III DPR RI Tinjau Kesiapan Polda, Kejati, dan BNNP Lampung Hadapi Penerapan KUHP Baru
Jumat, 21 November 2025 -
Benny Karya Limantara: KUHAP Baru Momentum Reformasi atau Sekadar Wajah Baru dari Sistem Lama
Jumat, 21 November 2025 -
Pelaku Pengecoran Solar di Lampung Beli Barcode Ilegal dari Medsos
Kamis, 20 November 2025 -
Tak Ikuti Pergub Lampung, Tiga Pabrik Singkong Diberi Teguran Tertulis
Kamis, 20 November 2025









