Akademisi Desak Pemerintah Cabut HGU Perusahaan Tak Penuhi Kewajiban 20 Persen
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung sekaligus advokat, Dr. Benny Karya Limantara. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kewajiban perusahaan perkebunan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) untuk mengalokasikan 20 persen dari luas lahannya bagi pembangunan kebun masyarakat dinilai masih jauh dari realisasi di lapangan.
Padahal ketentuan tersebut merupakan perintah hukum yang tegas sebagaimana diatur dalam PP No. 18 Tahun 2021 Pasal 27 huruf i.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung sekaligus advokat, Dr. Benny Karya Limantara, menyampaikan bahwa kewajiban alokasi 20 persen lahan HGU bukanlah program sukarela, tetapi syarat mutlak yang melekat pada izin HGU yang diberikan negara kepada perusahaan perkebunan.
“Kewajiban 20 persen bukan imbauan moral, tetapi perintah hukum yang tegas. Ketentuan ini melekat pada izin HGU dan bukan bagian dari CSR. Ketika perusahaan tidak menjalankannya, berarti mereka melanggar syarat perizinan,” tegas Benny kepada Kupas Tuntas saat dimintai tanggapan, Selasa (25/11/2025).
Menurut Benny, banyak perusahaan besar di Provinsi Lampung diduga belum menjalankan kewajiban tersebut secara nyata. Sebagian perusahaan hanya mencantumkan laporan administratif tanpa menyediakan lahan riil untuk kebun masyarakat sekitar.
“Realisasi kewajiban ini di Lampung masih jauh dari ideal. Ada perusahaan yang hanya melaporkan angka di atas kertas, tetapi tidak membangun kebun masyarakat sesuai standar,” ungkapnya.
Baca juga : Komisi I DPRD Lampung Minta Perusahaan Patuhi Kewajiban Plasma 20 Persen Saat Perpanjangan HGU
Benny menilai ketidakpatuhan perusahaan berpotensi memicu konflik agraria dan memperlebar kesenjangan ekonomi di daerah.
“Jika dibiarkan, ketidakpatuhan ini berpotensi memperkuat konflik agraria dan merusak kepercayaan publik terhadap regulasi agraria nasional,” kata Benny.
Beberapa alasan yang sering dijadikan dalih perusahaan, antara lain belum adanya detail teknis pembagian lahan, tumpang tindih klaim masyarakat atau kawasan hutan, serta biaya pembangunan kebun plasma yang dianggap mahal. Namun dari perspektif hukum, alasan tersebut tidak dapat menjadi justifikasi.
“Perusahaan memegang HGU bukan hanya hak atas tanah, tetapi tanggung jawab sosial yang harus dijalankan. Regulasi sudah jelas,” ujarnya.
Benny menjelaskan bahwa pemerintah memiliki instrumen sanksi yang jelas apabila perusahaan tidak memenuhi kewajiban alokasi 20 persen HGU, mulai dari teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara, hingga pencabutan izin dan penolakan perpanjangan HGU.
Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 31 huruf b angka 1 PP No. 18 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa HGU dapat dibatalkan sebelum masa berlakunya berakhir apabila kewajiban dalam Pasal 27 tidak dipenuhi.
“Instrumen sanksi sudah tersedia. Pemerintah tinggal menjalankannya secara tegas dan konsisten,” ujar Benny.
Benny meminta pemerintah melakukan verifikasi lapangan secara serius dan membuka data HGU kepada publik. “Laporan perusahaan harus diaudit independen, dan data realisasi 20 persen harus dibuka agar masyarakat ikut mengawasi,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) serta DPRD dalam pengawasan. “Keadilan agraria tidak boleh ditawar. Seluruh perusahaan pemegang HGU di Lampung wajib mematuhi aturan ini, dan pemerintah tidak boleh ragu menegakkannya,” tutupnya. (*)
Berita Lainnya
-
5.067 Pelanggar Terjaring Operasi Zebra di Bandar Lampung Dalam Sepekan
Selasa, 25 November 2025 -
Pengawas Ketenagakerjaan Jadi Kunci, Pemprov Lampung Siapkan Penguatan SDM dan Regulasi
Selasa, 25 November 2025 -
Pemprov Lampung Minta Tambahan 42.364 MT LPG 3 Kg Penuhi Kebutuhan Akhir Tahun
Selasa, 25 November 2025 -
Pemkot Bandar Lampung Siapkan Sektor Pariwisata Sambut Peserta Tabligh Akbar
Selasa, 25 November 2025









