• Selasa, 25 November 2025

‎Guru di Era Disrupsi: Menyalakan Kurikulum Cinta untuk Menuntun Manusia, Oleh: Koderi

Selasa, 25 November 2025 - 06.52 WIB
64

‎Koderi, Penggerak Teknologi Pendidikan dan Dosen Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung -Di tengah gelombang disrupsi teknologi, kecerdasan buatan, dan budaya digital yang bergerak tanpa jeda, profesi guru kembali diuji.

Tidak hanya dari sisi kompetensi digital, tetapi dari sisi paling mendasar: Apakah guru masih relevan sebagai penuntun manusia?

Pertanyaan ini muncul bukan karena guru kehilangan perannya, tetapi karena dunia berubah lebih cepat daripada kesiapan kita meresponsnya.

‎Hari ini, kita memperingati Hari Guru, diingatkan bahwa inti pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi transfer kemanusiaan.

‎Berangkat dari filosofis inilah gagasan "Kurikulum Cinta" dinyalakan. Cinta yang dimaksud bukan romantis, bukan sentimentis, tetapi cinta sebagai kekuatan pedagogis, moral, dan kultural, sebagaimana diajarkan Paulo Freire, Carl Rogers, Ki Hajar Dewantara, bahkan ulama klasik seperti Al-Ghazali dan Ibn Miskawaih.

‎Landasan Filosofis Kurikulum Cinta

‎Menurut teori Humanisme, Carl Rogers, Maslow mengatakan bahwa pendidikan adalah menempatkan manusia sebagai makhluk penuh potensi, membutuhkan kasih sayang, rasa aman, dan penghargaan.

Guru memandang siswa bukan objek pembelajaran, tetapi subjek yang dicintai.

‎Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire dalam Teori Pedagogi Cinta; menegaskan bahwa pendidikan adalah memerdekaan-membebaskan, bukan menekan dan menakutkan.

Guru hadir bukan sebagai “penguasa kelas”, tetapi sebagai mitra tumbuh Kembangkan-potensi-kodrat manusia.

‎Sedangkan menurut Al-Ghazali dan Ibn Miskawaih dalam Pedagogi Keteladanan bahwa Cinta adalah fondasi akhlak, dan pendidikan moral lahir dari cinta, empati, dan keteladanan.

‎Cinta sebagai Jawaban atas Tantangan Disrupsi

‎Era disrupsi menghadirkan tantangan multidimensi: banjir informasi, budaya instan, krisis empati, perundungan digital, depresi remaja, dan fragmentasi nilai. Teknologi menghadirkan kecerdasan, tetapi tidak menghadirkan kebijaksanaan.

‎Siswa punya akses ke ribuan video edukasi, tetapi tidak satu pun dapat menggantikan sentuhan mata penuh perhatian seorang guru.

Algoritma dapat menjelaskan materi, tetapi tidak dapat menenangkan hati yang cemas. AI mampu membuat esai, tetapi tidak mampu memanusiakan proses belajar.
‎Karena itu, satu-satunya hal yang tidak dapat terdisrupsi adalah cinta.

Cinta guru pada siswanya adalah energi eksistensial yang tidak dapat diretas, tidak dapat digantikan robot, tidak dapat diproduksi oleh mesin mana pun.

‎Kurikulum Cinta sebagai Paradigma Baru

‎Kurikulum Cinta bukan tambahan pelajaran baru, tetapi cara baru memaknai seluruh proses pendidikan. Implementasinya mencakup :

  1. Cinta sebagai Fondasi Pembelajaran. ‎Guru hadir dengan empati, kesabaran, dan perhatian pada martabat siswa.
  2. Cinta dalam Literasi Digital
    ‎Teknologi dipakai untuk menghadirkan nilai bukan sekadar fitur. ‎Siswa belajar digital citizenship dengan etika kasih, bukan hukuman.
  3. Cinta dalam Pendekatan Pedagogis. ‎Pembelajaran berbasis proyek kemanusiaan, bukan sekadar tugas akademik.
  4. Cinta sebagai Keteladanan Sosial. ‎Guru menjadi value guardian, penjaga moral dan karakter di tengah krisis nilai digital.
  5. Cinta sebagai Kesehatan Mental. ‎Kelas dibangun sebagai ruang aman emosional, tempat siswa boleh salah, belajar, dan tumbuh tanpa takut.

‎Mengapa Kurikulum Cinta Mendesak Diterapkan?

‎Karena generasi yang sedang kita didik adalah generasi yang :

  • Hidup dalam tekanan algoritma
  • Mudah lelah, mudah cemas, melaju cepat tanpa arah
  • Cerdas secara digital, namun rentan secara emosional
  • Terpapar informasi global tetapi kehilangan akar sosial

‎Di sinilah guru hadir sebagai jangkar dan penuntun kemanusiaan.

‎Guru tidak diminta untuk menjadi superhero. Guru hanya diminta untuk menjadi manusia yang mencintai pekerjaannya dan siswanya, karena cinta adalah pedagogi yang paling abadi.

Hari Guru: Momentum untuk Kembali pada Inti Pendidikan

‎Hari ini, mari kita renungkan: sekolah boleh bermetamorfosis, kurikulum boleh berubah, teknologi boleh mendominasi, tetapi pendidikan sejati selalu lahir dari cinta.

‎Guru yang mengajar dengan cinta akan melahirkan murid yang belajar dengan sukacita.

‎Guru yang hadir dengan perhatian akan melahirkan generasi yang hadir untuk dunia.

‎Guru yang menyalakan cinta akan menyalakan masa depan.

‎Selamat Hari Guru.
‎Terima kasih telah mencintai, meski dunia sering lupa merayakan cinta itu.
‎Semoga Kurikulum Cinta menjadi warisan abadi bagi pendidikan Indonesia. (*)