• Kamis, 27 November 2025

Ketika Kota Pendidikan Masih Lupa pada Gurunya, Oleh : Arby Pratama

Selasa, 25 November 2025 - 19.08 WIB
238

Ilustrasi Hari Guru di Kota Metro. (Ilustrasi AI Kupastuntas.co)

Kupastuntas.co, Metro - Di hari yang penuh tepuk tangan itu, kita semua bercerita tentang Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Lagu pujian berkumandang, karangan bunga mengisi aula, dan headline koran memuji jingga harapan. 

Tetapi di lorong-lorong sekolah, di meja-meja kayu yang kusam, ada pahlawan lain yang berdiri dalam diam, mereka adalah guru honorer yang menyulam masa depan anak-anak Metro dengan upah yang seringkali tak sebanding dengan pengorbanan mereka.

Data tidak berbohong, di jenjang SMA saja tercatat 7 SMA negeri dengan 325 guru negeri dan 14 SMA swasta dengan 244 guru. Angka yang menunjukkan ketimpangan distribusi tenaga pendidik dan beban kerja yang menunggu penataan serius. Data BPS Kota Metro menegaskan gambaran ini sebagai bahan dasar perencanaan, bukan sekadar statistik yang tersimpan di rak. 

Bukan rahasia lagi bahwa Pemerintah Kota membuka jalur seleksi PPPK. Tahun 2024 Pemkot menerima alokasi 384 formasi PPPK, namun hanya 50 formasi untuk tenaga guru dan selebihnya untuk kesehatan serta tenaga teknis. 

Bila kita hitung hati dan harapan puluhan hingga ratusan guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun, angka 50 terasa seperti setitik hujan di hari kemarau. Belum lagi, Guru honorer pada jenjang SMP, SD hingga TK yang jumlahnya luar biasa. Itu bukan hanya soal angka, itu soal janji yang terasa timpang. 

PGRI Kota Metro berulang kali menaruh perhatian pada persoalan ini. Dalam konferensi dan orientasi pengurus yang digelar sepanjang tahun terakhir, isu kesejahteraan guru honorer terus mengemuka, honor yang belum layak, kesulitan akses sertifikasi, dan ketidakpastian nasib di tengah beban kerja yang berlipat. 

Suara mereka bukanlah keluhan riuh yang menyita layar berita lokal hingga nasional, melainkan ratapan halus yang sehari-hari berbisik di dalam kelas. Realitasnya menyakitkan, banyak sekolah kehilangan guru karena pensiun, tetapi perekrutan baru belum mampu mengisi celah. 

Sekolah-sekolah mengandalkan guru honorer untuk menambal kekosongan, satu guru menanggung beberapa rombongan belajar, mengurus administrasi, tugas tambahan, bimbingan, hingga urusan keluarga murid tanpa kepastian gaji yang menenangkan malam. Hal ini bukan sekadar beban profesional, ini adalah beban manusiawi. 

Sementara pemerintah daerah bergerak, ada dinamika birokrasi baru yaitu pengangkatan pejabat di Disdikbud yang menjadi sinyal harapan baru sekaligus ujian. Tanggung jawab memperbaiki tata kelola, menata formasi, dan memberi perlindungan sosial kini ada di meja yang berbeda, apakah ia akan menjadi titik balik atau tetap menjadi catatan administratif semata, hanya waktu dan kebijakan yang akan menjawab. 

Kita wajib menilai, apakah tepuk tangan kita pada Hari Guru hanyalah penghormatan simbolik, ataukah akan berubah menjadi langkah konkret? Refleksi itu harus merentang dari aula peringatan ke ruang rapat di kantor Walikota, dari pidato ke kebijakan anggaran, dari wacana ke peraturan yang melindungi kehidupan guru sehari-hari.

Berangkat dari data dan suara para guru, ada lima langkah yang mendesak dan realistis, bukan retorika, melainkan amanat nyata tentang usulan perluasan formasi PPPK yang proporsional. Jika 384 formasi tersedia tetapi hanya 50 untuk guru, maka perlu kalkulasi ulang berdasarkan kebutuhan riil sekolah dan jumlah guru honorer yang telah mengabdi. 

Dokumen seleksi PPPK menunjukkan alur administratif yang bisa direvisi untuk meningkatkan kuota guru. Kemudian, Insentif daerah bagi guru honorer. Bantuan transport, tunjangan perangkat ajar, dan subsidi listrik atau internet untuk pembelajaran menjadi langkah cepat yang dapat meringankan beban ekonomi tanpa harus menunggu pengangkatan menjadi ASN.

Ketiga, akses sertifikasi berdasarkan kompetensi. Pendidikan profesional tidak boleh menjadi barang mewah bagi yang berstatus honorer. Pelatihan dan kesempatan mengikuti sertifikasi harus dibuka tanpa diskriminasi administratif, karena profesionalisme tidak semata ditentukan oleh status pegawai.

Keempat, pemetaan ulang beban kerja dan redistribusi tenaga. Data BPS tentang jumlah guru dan siswa harus menjadi peta strategi, jika satu guru menanggung banyak rombel, sistem harus merespon dengan redistribusi atau penempatan prioritas formasi. 

Kelima, perlindungan sosial yang memadai. Jaminan kesehatan, kepastian pembayaran honor tepat waktu, dan program keselamatan sosial dasar untuk guru honorer harus menjadi bagian dari anggaran pendidikan kota, karena mereka bukan mesin, melainkan manusia yang mengasuh asa anak-anak.

Kita tidak memohon sesuatu yang luar biasa. Kita meminta keadilan yang sederhana, agar mereka yang setiap pagi membuka pintu kelas bukan hanya diberi tepuk tangan, tetapi juga kepastian hidup yang layak. 

Anak-anak Metro tidak menanyakan status kepegawaian saat bertanya “Bu, bagaimana menulis huruf R?”, yang mereka tahu hanyalah bahwa gurunya hadir setiap hari dengan sabar. Dan itu cukup untuk menumbuhkan mimpi.

Jika Metro benar-benar ingin menjadi “Kota Pendidikan”, maka mari buktikan tidak hanya lewat slogan di baliho, tetapi lewat anggaran, kebijakan, dan perlindungan yang merangkul semua guru termasuk mereka yang hari ini berdiri di barisan belakang. 

Karena masa depan sebuah kota terbentuk dari kelas-kelas yang dijaga, bukan sekadar dari gedung-gedung kantornya. Maka, refleksi Hari Guru harus berakhir pada tindakan. Bila tidak, tepuk tangan hanyalah gema indah namun hampa yang larut tanpa meninggalkan jejak di meja makan para guru honorer. (*)