• Selasa, 02 Desember 2025

AJI: Media Cetak Harus Berinovasi Jika Ingin Bertahan di Ekosistem Digital

Selasa, 02 Desember 2025 - 10.18 WIB
8

Ketua Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Dian Wahyu. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Dalam beberapa tahun terakhir, media cetak terus mengalami tren penurunan seiring bergesernya kebiasaan masyarakat yang kini lebih memilih mendapatkan informasi melalui media digital yang cepat dan mudah diakses.

Ketua Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Dian Wahyu mengatakan, peralihan ke era digital memang tidak dapat dihindari. Banyak perusahaan media cetak kini mengurangi oplah, bahkan berhenti beroperasi.

“Ada yang awalnya mencetak 10 ribu eksemplar turun menjadi 5 ribu. Ada pula yang dari lima kali terbit seminggu menjadi hanya satu kali,” ujarnya saat diwawancarai, Selasa (02/12/2025).

Menurut Dian, kondisi media cetak secara umum memang sedang tidak baik. Namun demikian, media online juga memiliki tantangan tersendiri karena membutuhkan investasi besar pada teknologi, seperti biaya IT, hosting, serta pengembangan platform.

Ia menegaskan bahwa transformasi dari media cetak ke media digital tidak sekadar memindahkan konten, tetapi membutuhkan perubahan strategi.

“Media online dirancang untuk menyajikan berita secara cepat, tetapi tetap harus visual, menarik, interaktif, dan tentu valid. Kecepatan tidak boleh mengorbankan akurasi,” jelasnya.

Selain itu, setiap media perlu menentukan karakter pemberitaannya. Apakah ingin fokus pada konten investigasi, analisis, atau isu-isu daerah seperti Lampung. Hal ini penting agar menyesuaikan dengan kebutuhan pembaca digital.

Media digital saat ini juga dituntut menambah variasi konten seperti infografis, podcast, live streaming, hingga penguatan media sosial. AJI mendorong pemanfaatan platform CMS agar proses kerja redaksi lebih efisien, didukung oleh infrastruktur teknologi yang memadai serta pelatihan internal.

“Mindset media cetak dan media digital berbeda. Mulai dari CEO, cara kerja redaksi, hingga penyajian berita harus menyesuaikan dengan kebutuhan pembaca digital. Penggunaan AI diperbolehkan, tetapi harus disertai disclaimer,” tegasnya.

Terkait monetisasi, ia menyebut kini banyak media yang mulai menerapkan sistem berlangganan, subscription, hingga membership seperti konten privat di platform video.

Dalam penyajian berita digital, peran editor dinilai sangat krusial. Reporter bertugas mengumpulkan informasi di lapangan, sementara editor meramu, menambah data, menentukan angle, serta memastikan berita lengkap, menarik, dan mudah dipahami.

“Editor berperan besar dalam meminimalkan misinformasi maupun hoaks. Pemilihan judul, sudut pandang, dan struktur berita sangat menentukan kualitas informasi,” ucapnya.

Ia menambahkan, pembaca generasi muda kini lebih menyukai penyederhanaan informasi lewat analogi. Misalnya menjelaskan tinggi 40 meter dengan perbandingan gedung sepuluh lantai agar lebih mudah dibayangkan. Bahasa yang digunakan juga harus inklusif, tidak elitis, dan dapat dipahami oleh pembaca umum.

Tren koran elektronik atau koran digital juga semakin berkembang karena dapat mengurangi penggunaan kertas yang harganya semakin mahal. AJI mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan pengurangan pajak kertas agar media cetak lebih berkelanjutan.

“Produk digital seperti PDF harus dibuat dengan desain yang lebih menarik, tidak sekadar menyalin versi cetak. Transformasi harus terasa,” tegasnya.

Ia menilai media digital membutuhkan investasi yang tidak sedikit, mulai dari penguatan tim IT, peningkatan kualitas grafis, tampilan mobile friendly, hingga penyediaan perangkat seperti gawai dan laptop.

Meski media digital terus berkembang pesat, ia mengakui sebagian masyarakat masih membutuhkan koran cetak, seperti kalangan pensiunan, instansi pemerintahan, hingga orang-orang yang masih terbiasa melakukan clipping manual.

“Media yang baik justru mampu menghadirkan dua produk sekaligus: online yang cepat dan cetak yang tetap informatif,” katanya. (*)