Potret Pemilihan RT/RW di Metro, Ketika Demokrasi Lokal Berjalan Tanpa Perempuan, Oleh: Arby Pratama
Potret Pemilihan RT/RW di Metro, Ketika Demokrasi Lokal Berjalan Tanpa Perempuan, Oleh: Arby Pratama. Foto: Ilustrasi_AI.
Kupastuntas.co, Metro - Pemilihan RT/RW Periode 2026–2030 di Kota Metro tengah berjalan dan dipersiapkan sebagai bagian dari agenda demokrasi lokal.
Namun di balik bahasa prosedural dan janji transparansi, terdapat persoalan mendasar yang tak boleh diabaikan, yaitu dugaan kuat adanya praktik diskriminasi terhadap perempuan dalam regulasi dan pelaksanaan pemilihan.
Berdasarkan hasil investigasi lapangan dan penelusuran dokumen, ditemukan bahwa sistem demokrasi yang dijalankan di Metro masih sangat bias dan berpotensi menghilangkan hak politik perempuan sebagai warga negara yang sah.
Peraturan Wali Kota Metro Nomor 50 Tahun 2020 mensyaratkan bahwa calon Ketua RW harus berstatus Kepala Keluarga.
Persyaratan yang tampak administratif ini justru membuka ruang diskriminasi sistematis. Yang mana syarat Kepala Keluarga menjadi alat seleksi untuk menyingkirkan perempuan.
Data Disdukcapil Kota Metro tahun 2024 mencatat, sebanyak 74 persen Kepala Keluarga adalah laki-laki. Sementara perempuan hanya 26 persen. Artinya, tiga dari empat perempuan otomatis tersingkir bahkan sebelum proses pemilihan berlangsung.
Perempuan dengan rekam jejak sosial kuat, pengalaman organisasi bertahun-tahun, dan kapasitas kepemimpinan tinggi, tetap dinyatakan tidak layak hanya karena tidak tercatat sebagai kepala keluarga.
Bahkan, perempuan yang mengurus kegiatan sosial dan posyandu dianggap tidak penting dalam musyawarah. Suara mereka bahkan tidak dihitung karena bukan kepala keluarga.
Jika demokrasi menutup pintu bagi kompetensi dan membuka ruang hanya untuk status administratif, itu bukan demokrasi, itu adalah oligarki domestik berbaju peraturan.
Fakta lain yang lebih mengkhawatirkan ialah hak suara dalam musyawarah RT/RW hanya diberikan kepada kepala keluarga, bukan setiap warga. Alhasil, musyawarah itu telah membungkam separuh populasi.
Dari berbagai cerita yang dihimpun, ada kisah tentang 118 warga hadir dalam pemilihan RT/RW di wilayah Kecamatan Metro Pusat. Namun ada 63 perempuan yang mengikuti rapat dan hanya 11 perempuan saja yang diizinkan bicara, sisanya tidak memiliki hak suara langsung karena suami yang mewakili.
Dengan demikian, perempuan hadir secara fisik, tetapi dihapus secara politik. Representasi politik sangat tidak berimbang, peta komposisi pengurus RT/RW periode sebelumnya menunjukkan ketimpangan akut, dimana jabatan RW 97 persennya adalah laki-laki, dan perempuan hanya 3 persen. Pun untuk jabatan Ketua RT, sebanyak 87 persen dijabat oleh laki-laki sementara 13 persen sisanya dijabat oleh perempuan.
Dalam situasi seperti ini, bagaimana perempuan bisa masuk ke panggung politik yang lebih tinggi bila mereka pun ditutup pintunya pada level paling dasar. Lalu, siapa yang diuntungkan?
Sistem tersebut seolah dibuat untuk mempertahankan kekuasaan elit laki-laki. Seolah-olah kalau perempuan diberi ruang, peta politik berubah.
Dukungan masyarakat ke perempuan biasanya sangat kuat. Itu berbahaya bagi mereka yang sudah lama menguasai struktur lokal.
Ini menunjukkan bahwa diskriminasi bukan sekadar budaya, tetapi strategi politik untuk mempertahankan jaringan kekuasaan.
Demokrasi sejatinya memberikan kesempatan setara bagi setiap warga, bukan hanya bagi yang berstatus administratif.
Ketika perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan publik, maka kebijakan menjadi tidak sensitif terhadap kebutuhan sosial riil.
Ketidakadilan dilegitimasi negara dan demokrasi berubah menjadi upacara rutin tanpa substansi.
Jika Kota Metro ingin dikenal sebagai kota yang demokratis, maka pemerintah harus menghapus syarat Kepala Keluarga untuk calon RW.
Lalu berikan hak suara langsung kepada setiap warga dewasa dan terapkan afirmasi minimal 30 persen perempuan dalam pencalonan.
Yang tidak kalah penting adalah pelibatan organisasi perempuan dan pemuda dalam proses pemilihan. Kemudian tingkatkan pendidikan demokrasi di tingkat kelurahan.
Kota Metro tidak bisa terus mengaku modern jika demokrasi lokal masih berjalan dengan logika abad lalu.
Perempuan adalah tulang punggung kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan keluarga. Mereka yang memikul beban paling berat kehidupan sehari-hari. Tetapi ketika berbicara hak politik, mereka dipaksa duduk di belakang dan diam.
Maka ketika suara perempuan dibungkam, yang lahir bukan keadilan, tetapi kekuasaan yang korup.
Pemilihan RT/RW harus menjadi milik seluruh rakyat, bukan hanya milik laki-laki yang menguasai status administratif.
Demokrasi harus dibangun bersama, bukan diwariskan kepada satu jenis kelamin. Sejarah akan mencatat, apakah Kota Metro memilih keadilan atau memilih kenyamanan penindasan. (*)
Berita Lainnya
-
DPC PDI Perjuangan Kota Metro Siap Sukseskan Konferda
Rabu, 03 Desember 2025 -
Walikota Dan Tanggung Jawab Antisipasi Bencana, Oleh: Arby Pratama
Selasa, 02 Desember 2025 -
Digitalisasi Retribusi Metro Dimulai, Pemkot Resmikan Aplikasi METAS
Selasa, 02 Desember 2025 -
Suwandi: Kabar Pelantikan PPPK Paruh Waktu di Kota Metro Tidak Benar
Selasa, 02 Desember 2025









