• Rabu, 10 Desember 2025

Kasus Illegal Logging Pesibar, Akademisi: P3H Kuat di Norma Tapi Lemah di Praktik

Senin, 08 Desember 2025 - 13.47 WIB
34

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) yang juga seorang advokat, Dr. Benny Karya Limantara. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kasus dugaan penebangan liar di Kabupaten Pesisir Barat (Pesibar) kembali memperlihatkan lemahnya penegakan hukum di sektor kehutanan.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) yang juga seorang advokat, Dr. Benny Karya Limantara, menegaskan bahwa kondisi tersebut menjadi indikator serius bahwa negara belum berhasil melindungi hutan.

Menurut Benny, kasus di Pesisir Barat saat ini memang telah ditangani cepat oleh Polda Lampung dengan menyegel lokasi penampungan kayu, alat berat, serta memeriksa sejumlah orang di Sabardong, Pugung Penengahan, Lemong. Namun baginya, persoalan ekologis tidak bisa berhenti pada tindakan penertiban semata.

"Hutan, apalagi TNBBS dan sekitarnya, adalah subjek moral dan penyangga kehidupan. Kalau pembalakan liar bisa berulang, itu tanda negara belum berhasil melindungi hak ekosistem untuk tetap utuh,” kata Benny saat dimintai tanggapan, Senin (8/12/2025).

Benny menjelaskan bahwa pembalakan liar di kawasan TNBBS dan wilayah sekitarnya merupakan kejahatan yang melibatkan jaringan berlapis.

Di dalamnya terdapat penebang, pengangkut, penadah, pemodal, hingga pihak tertentu yang memberikan perlindungan.

"Yang sering diproses hanya operator chainsaw, sopir, dan buruh angkut. Padahal yang jarang tersentuh adalah beneficial owner kayu, pemodal, dan korporasi penerima aliran kayu,” ungkapnya.

Selain jaringan yang kuat, ia menyebut faktor lain seperti ekonomi masyarakat pedesaan yang rapuh, tata kelola hutan dan izin yang bermasalah, hingga penegakan hukum yang belum mampu menyasar kepala jaringan.

Menurut Benny, kerangka hukum terkait pembalakan liar sebenarnya sudah kuat. Ia menyebut UU 18/2013 tentang P3H, UU Kehutanan, UU KSDAE, dan UU 32/2009 tentang PPLH sebagai perangkat utama. Namun ia menilai celah utama berada pada implementasi dan political will.

"Banyak studi menyebut P3H (Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan) kuat di norma tapi lemah di praktik, terutama ketika berhadapan dengan kepentingan ekonomi besar. Regulasi kita juga masih bias antroposentris, belum mengakui secara eksplisit hak alam sebagai subjek,” jelasnya.

Benny menyebut pola pelaku yang terlibat di wilayah TNBBS dan sekitarnya selalu berulang, meliputi pelaku lapangan, pemodal lokal maupun regional, penadah atau industri kayu, pihak yang memberikan perlindungan, dan sebagian masyarakat sekitar hutan.

Ia mengingatkan bahwa masyarakat desa sering kali hanya menjadi buruh tebang dengan bayaran kecil dan berada dalam struktur ekonomi yang memaksa mereka terlibat.

Terkait penanganan kasus Pesisir Barat, Benny menilai langkah Polda Lampung sudah menuju arah yang benar, namun masih memerlukan penguatan. Ia menekankan perlunya penyelamatan ekosistem sejak awal, penyidikan terhadap otak jaringan, hingga penggunaan pendekatan multi-aturan (multi-door).

Menurutnya, penegakan hukum harus terbuka serta melibatkan partisipasi publik agar sesuai prinsip keadilan ekologis dan hak masyarakat atas lingkungan yang baik.

Dalam banyak laporan, Benny menyebut keterbatasan SDM dan kesulitan medan menjadi hambatan besar, terutama karena lokasi penebangan berada jauh dari akses jalan utama.

Koordinasi antar lembaga juga disebut belum solid, masih bergerak parsial, dan belum berada dalam satu komando strategis. Selain itu, tekanan ekonomi dan politik lokal kerap menjadi kendala aparat saat menyentuh jaringan besar.

Benny menilai pemerintah daerah harus memandang hutan sebagai ruang hidup bersama, bukan cadangan ekonomi. Ia menekankan perlunya penguatan tata ruang, program ekonomi alternatif berbasis ekologis, kemitraan dengan desa penyangga, dan sistem pengaduan cepat terkait illegal logging.

Benny juga menekankan pentingnya pergeseran paradigma penegakan hukum dari sekadar melihat kayu sebagai objek ekonomi menjadi melihat hutan sebagai ekosistem yang memiliki hak untuk tetap utuh.

Ia mendorong transparansi dalam penanganan kasus Pesisir Barat agar dapat menjadi yurisprudensi moral dalam upaya penegakan hukum kehutanan di Lampung. (*)