• Rabu, 17 Desember 2025

Kisruh Dugaan Mafia Anggaran Media di DPRD Tanggamus, Rp5,5 Miliar Advertorial Gagal Cair

Rabu, 17 Desember 2025 - 12.02 WIB
111

Kantor DPRD Kabupaten Tanggamus. Foto: Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Tanggamus - Anggaran publikasi Sekretariat DPRD Kabupaten Tanggamus tahun anggaran 2025 yang mencapai Rp6,7 miliar kini menjadi sorotan tajam. Di balik angka itu, tersimpan dugaan praktik mafia anggaran media massa yang selama ini nyaris tak tersentuh, sebelum akhirnya mencuat ke permukaan melalui hearing terbuka Forum Bersama Ketua Organisasi Profesi (FBKOP) dengan DPRD.

Penelusuran yang dilakukan redaksi menemukan indikasi kuat adanya pengondisian belanja advertorial di Sekretariat DPRD Tanggamus.

Dari total anggaran tersebut, sekitar Rp5,5 miliar dialokasikan khusus untuk advertorial media massa, angka yang dinilai tidak sebanding dengan pola distribusi yang terjadi di lapangan.

Berdasarkan keterangan sejumlah sumber internal dan insan pers lokal, pola pembagian anggaran advertorial diduga tidak dilakukan secara terbuka.

Sejumlah media tertentu disebut masuk dalam kategori “prioritas”, dengan nilai kerja sama yang fantastis, berkisar Rp250 juta hingga Rp500 juta per media.

Sebaliknya, puluhan media lain, baik cetak maupun online hanya memperoleh satu kali pemasangan advertorial, tanpa kejelasan dasar penetapan, ukuran oplah, trafik, atau mekanisme evaluasi.

“Tidak ada seleksi terbuka, tidak ada penjelasan indikator. Semua seolah sudah ditentukan sejak awal,” ujar Imron Tara, seorang wartawan yang terlibat langsung dalam proses tersebut, Rabu (17/12/2025).

Pola ini memunculkan dugaan adanya monopoli anggaran yang dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan pengaruh di lingkaran DPRD.

Sejumlah sumber menyebut, pengondisian anggaran advertorial tidak murni bersifat administratif. Dugaan mengarah pada adanya intervensi nonstruktural, termasuk tekanan dan arahan agar anggaran mengalir ke media tertentu.

Jika dugaan ini terbukti, maka praktik tersebut berpotensi melanggar, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (prinsip transparansi dan bebas konflik kepentingan).

Lalu, UU Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3) terkait larangan penyalahgunaan jabatan oleh anggota DPRD, serta UU Tipikor terkait penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara.

Kecurigaan atas ketimpangan ini akhirnya mendorong Forum Bersama Ketua Organisasi Profesi (FBKOP) Kabupaten Tanggamus, yang terdiri dari 25 organisasi wartawan, mengajukan hearing dengan Komisi I DPRD Tanggamus.

Hearing digelar di ruang VIP Sekretariat DPRD, Senin (15/12/2025), menghadirkan Sekretaris DPRD Andi Darmawan, Kepala Bagian Humas, PPTK, serta Pengguna Anggaran (PA).

Dalam forum tersebut, FBKOP secara terbuka memaparkan temuan adanya ketidaktransparanan penerima anggaran advertorial yang mengerucut pada ketimpangan ekstrem antar media.

“Kami mencium aroma tidak sehat dalam pengelolaan anggaran media. Ini bukan asumsi, tapi fakta lapangan,” ujar Rapik Junaidi, Ketua FBKOP sekaligus Ketua PD IWO Tanggamus.

Hearing tersebut berujung pada keputusan drastis. Sekretariat DPRD dan FBKOP menyepakati bahwa seluruh pembayaran advertorial media cetak, mingguan, dan online tahun anggaran 2025 ditiadakan (nol pencairan).

Dengan keputusan ini, anggaran advertorial senilai Rp5,5 miliar dipastikan tidak dibayarkan.

Langkah ini dinilai sebagai bentuk penghentian darurat untuk mencegah potensi pelanggaran hukum yang lebih jauh.

Rapik Junaidi meminta seluruh jurnalis di Tanggamus mengawal ketat kesepakatan tersebut. Menurutnya, proses akhir pencairan anggaran berada di Bidang ULP (LPSE) Setda Kabupaten Tanggamus.

“Sekecil apa pun informasi terkait proses pencairan harus segera disampaikan. Kalau ada yang mencoba masuk diam-diam, itu berarti kesepakatan dilanggar,” tegas Rapik.

Untuk tahun anggaran 2026, Sekretariat DPRD berjanji akan melibatkan Forum Bersama Ketua Organisasi Pers dalam merumuskan ulang mekanisme kerja sama media, termasuk pembagian alokasi antara media cetak dan online.

Namun bagi FBKOP, janji tersebut harus diuji dengan transparansi nyata, bukan sekadar komitmen lisan.

Kasus ini menjadi ujian serius bagi DPRD Tanggamus. Bukan hanya soal anggaran media, tetapi soal integritas lembaga legislatif dalam mengelola uang rakyat dan menghormati kemerdekaan pers.

Pembekuan anggaran mungkin menghentikan aliran dana, tetapi tanpa pengusutan menyeluruh, dugaan mafia anggaran berisiko hanya menjadi cerita yang tertunda, bukan diselesaikan.

Aktivis Lembaga Analisis Kebijakan Publik (Lankip), Panroyen bereaksi keras, jika praktik dugaan pengondisian anggaran advertorial tersebut dinilai bertentangan dengan sejumlah regulasi yang mengatur pengelolaan keuangan daerah dan etika jabatan publik.

Dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, ditegaskan bahwa setiap belanja daerah wajib dilaksanakan secara transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan bebas konflik kepentingan. Intervensi pihak yang tidak memiliki kewenangan teknis dinilai berpotensi melanggar prinsip tersebut.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) secara tegas melarang anggota DPRD menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau pihak lain.

"Jika dugaan tersebut terbukti mengarah pada pengaturan anggaran untuk keuntungan tertentu, maka praktik itu juga berpotensi dijerat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 terkait penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara," tegas Panroyen.

Di sisi lain, ungkap Panroyen, pola diskriminatif terhadap media juga dinilai bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin perlakuan adil, independen, dan tidak diskriminatif terhadap perusahaan pers.

"Dugaan praktik ini dinilai bertolak belakang dengan pernyataan Bupati Tanggamus Mohammad Saleh Asnawi, yang dalam berbagai kesempatan menegaskan larangan keras terhadap permainan uang, proyek, dan praktik tidak sehat dalam pengelolaan anggaran daerah," ujarnya.

Pernyataan tersebut kini menjadi sorotan publik, seiring munculnya dugaan bahwa praktik yang dilarang justru terjadi di lingkungan DPRD.

Panroyen mendorong para wartawan baik perorangan atau lembaga melaporkan persoalan ini ke Aparat Penegak Hukum (APH).

"Buat laporan resmi ke APH agar kasus ini terbongkar dan tidak terjadi lagi di masa mendatang, kasihan kawan-kawan media yang hanya pasang satu atau dua advertorial diputuskan tidak dibayar," kata dia.

Panroyen berpendapat seharusnya media massa yang tidak terlibat dalam "permainan anggaran" ini advertorial nya tetap harus dibayar. "Baru kalau media yang nilainya ratusan juta, jangan dibayar. Itu kan hak," ujarnya

Hingga berita ini diturunkan, pihak DPRD Kabupaten Tanggamus belum memberikan keterangan resmi. Upaya konfirmasi kepada pimpinan DPRD dan Sekretariat DPRD masih terus dilakukan.

Publik mendesak aparat penegak hukum bertindak tegas dan independen, demi memastikan uang negara tidak dijadikan bancakan serta menjaga marwah lembaga legislatif dan ekosistem pers yang sehat di Kabupaten Tanggamus. (*)