• Jumat, 19 Desember 2025

LBH DLN Ajak Publik Membaca Ulang Relasi Hukum, Kekuasaan dan Keadilan

Jumat, 19 Desember 2025 - 20.38 WIB
9

‎Kegiatan penutup Legal Course Angkatan Pertama LBH DLN di Koat Coffee, Way Halim, Bandar Lampung. Foto: Ist.

‎Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Di tengah kecenderungan penegakan hukum yang semakin prosedural dan menjauh dari rasa keadilan masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum Dharma Loka Nusantara (LBH DLN) menghadirkan ruang refleksi kritis melalui dialog publik bertajuk “Rekonstruksi Wacana Keadilan”.

‎Kegiatan ini menjadi penutup Legal Course Angkatan Pertama LBH DLN, yang digelar pada Kamis (18/12/2025) malam di Koat Coffee, Way Halim, Bandar Lampung.

Dialog tersebut bukan sekadar forum diskusi, melainkan upaya intelektual untuk membaca ulang relasi antara hukum, kekuasaan, dan keadilan.

LBH DLN memandang bahwa krisis hukum di Indonesia tidak hanya bersumber dari lemahnya aturan, tetapi dari cara berpikir dan praktik hukum yang kerap terjebak pada formalitas, serta abai terhadap kepentingan kelompok rentan.

‎Berangkat dari kegelisahan tersebut, forum ini menghadirkan narasumber lintas latar belakang untuk membongkar problem hukum dari berbagai sudut pandang.

Praktisi hukum Penta Peturun menggarisbawahi bahwa penegakan hukum masih kerap tunduk pada kepentingan politik dan ekonomi, sehingga keadilan menjadi barang mahal bagi masyarakat kecil.

Dalam pandangannya, hukum sering kali bekerja selektif tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

‎Sementara itu, akademisi Dr. Budiono menyoroti persoalan yang lebih mendasar, yakni pendidikan hukum yang gagal membangun kepekaan sosial.

Menurutnya, fakultas hukum terlalu menekankan aspek normatif dan dogmatis, namun mengabaikan dimensi etik dan keberpihakan, sehingga melahirkan sarjana hukum yang piawai secara teknis, tetapi miskin keberanian moral.

‎Dari perspektif generasi muda, Iqbal Ardiyansah menegaskan bahwa ketidakadilan yang terus direproduksi akan menjadi warisan pahit jika tidak dilawan sejak dini.

Ia menekankan pentingnya peran pemuda sebagai agen perubahan yang berani mempertanyakan “kenormalan” praktik hukum yang sesungguhnya tidak adil.

‎Adapun jurnalis Hendry Sihalolo mengingatkan bahwa media memiliki tanggung jawab intelektual dan moral sebagai pengawas kekuasaan.

Dalam konteks penegakan hukum, media tidak boleh sekadar menjadi corong informasi, tetapi harus hadir sebagai ruang kritik yang membongkar relasi kuasa di balik berbagai putusan dan kebijakan hukum.

‎Dari keseluruhan diskusi, mengemuka satu kesepahaman: problem hukum hari ini bukan semata soal regulasi, melainkan krisis keberanian, integritas, dan orientasi keadilan.

Rekonstruksi wacana keadilan, karenanya, menuntut pembacaan hukum yang kontekstual hukum yang hidup, berpihak, dan berpijak pada realitas sosial masyarakat.

‎Menutup rangkaian kegiatan, Direktur LBH DLN Ahmad Hadi Baladi Ummah (Pupung) menegaskan bahwa Legal Course Angkatan Pertama dirancang sebagai ruang pembentukan kesadaran etik dan politik advokat, bukan sekadar pelatihan teknis hukum.

Ia berharap para peserta tidak hanya menjadi pelaku hukum, tetapi subjek kritis yang berani melawan praktik ketidakadilan.

‎“Legal Course ini adalah ikhtiar awal untuk melahirkan advokat dan pegiat hukum yang tidak kehilangan nurani. Pendidikan hukum kritis harus terus diperluas agar hukum kembali pada tujuan utamanya: keadilan bagi manusia,” ujarnya.

‎Melalui dialog ini, LBH Dharma Loka Nusantara menegaskan posisinya bahwa perjuangan keadilan tidak cukup dilakukan di ruang sidang, tetapi juga melalui kerja-kerja intelektual yang terus menerus mempertanyakan, merumuskan ulang, dan memperjuangkan makna keadilan itu sendiri. (*)