WFA Dinilai Jadi Instrumen Kendali Mobilitas Saat Libur Nataru, Ini Tantangan Produktivitasnya
WFA Dinilai Jadi Instrumen Kendali Mobilitas Saat Libur Nataru, Ini Tantangan Produktivitasnya. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kebijakan Work From Anywhere (WFA) yang diterapkan pemerintah pada akhir Desember 2025 dinilai bukan sekadar fleksibilitas kerja, melainkan instrumen penting dalam mengelola lonjakan mobilitas masyarakat selama libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Namun, kebijakan ini juga menyimpan tantangan serius terkait produktivitas dan kualitas layanan publik.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Lampung, Erwin Octavianto, mengatakan bahwa libur Nataru selalu menghadirkan dua sisi yang kontras.
Di satu sisi, aktivitas ekonomi daerah bergerak melalui pariwisata dan konsumsi masyarakat. Namun di sisi lain, kemacetan, antrean panjang, dan tekanan terhadap layanan publik menjadi persoalan tahunan.
“Data arus penyeberangan Selat Sunda menunjukkan skala mobilitas yang sangat besar. Hingga H-10 sampai H-1 Natal 2025, tercatat sekitar 355.709 orang menyeberang dari Jawa ke Sumatera. Ini bukan angka kecil, melainkan sinyal bahwa Nataru adalah puncak mobilitas nasional,” kata Erwin, yang juga Koordinator Peneliti Yayasan Pusat Studi Kota dan Daerah Jumat (26/12/2025).
Menurutnya, dalam konteks tersebut, kebijakan WFA bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) pada 29–31 Desember 2025, serta imbauan kepada sektor swasta, perlu dipahami sebagai bagian dari manajemen permintaan perjalanan (traffic demand management).
Tujuannya bukan memberi cuti tambahan, melainkan mengurangi kepadatan mobilitas akibat kewajiban hadir fisik secara serentak.
“Kalau semua orang diwajibkan kembali ke kantor di waktu yang sama, kemacetan justru semakin parah dan biaya sosialnya meningkat, mulai dari waktu tempuh, konsumsi BBM, hingga gangguan logistik,” jelasnya.
Erwin menilai kemacetan merupakan eksternalitas negatif klasik dalam ekonomi publik. Keputusan individu untuk bepergian pada waktu yang sama menambah beban bagi pengguna jalan lainnya.
Karena itu, WFA di akhir tahun dinilai rasional untuk menggeser puncak perjalanan dan menekan pemborosan ekonomi.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa efektivitas WFA sangat bergantung pada disiplin dan desain kebijakan.
“WFA harus tetap dimaknai sebagai bekerja dari mana saja, bukan libur terselubung. Jika WFA berubah menjadi tambahan cuti, maka negara hanya memindahkan beban dari kemacetan ke penurunan output,” tegasnya.
Ia merujuk pada riset ekonom Stanford, Nicholas Bloom, yang menunjukkan bahwa pola kerja hybrid tidak merusak produktivitas dan justru meningkatkan retensi pekerja, asalkan didukung aturan kerja dan target kinerja yang jelas.
Dalam konteks Nataru, WFA bersifat temporer dan dinilai masih dapat dikelola dari sisi produktivitas.
Namun, tantangan muncul ketika WFA diterapkan di tengah suasana hari raya. Fokus pekerja kerap terbagi antara tanggung jawab kerja dan aktivitas keluarga.
Selain itu, masih banyak organisasi yang mengukur produktivitas berdasarkan kehadiran, bukan hasil kerja.
“Disinilah WFA menjadi cermin budaya kerja. Ketika kehadiran fisik tidak lagi relevan, terlihat apakah organisasi benar-benar berbasis kinerja atau hanya rutinitas,” ujarnya.
Erwin juga menyoroti risiko penundaan pekerjaan selama WFA. Pekerjaan sering kali tidak ditinggalkan, tetapi ditunda hingga libur usai, sehingga menimbulkan penumpukan pekerjaan (backlog).
Kondisi ini dinilai berbahaya, terutama bagi layanan publik yang justru dibutuhkan lebih intens selama libur panjang.
“Bagi masyarakat, istilah WFA tidak penting. Yang penting adalah layanan tetap berjalan. Jika tidak diatur dengan jelas, publik bisa menilai negara ikut berlibur,” katanya.
Ia menegaskan bahwa WFA di masa libur panjang seharusnya dipandang sebagai pengaturan ulang ritme kerja, bukan penghilangan tanggung jawab.
Fleksibilitas harus diimbangi dengan target kinerja yang terukur dan kepemimpinan yang tegas.
Menurutnya, penerapan WFA setiap akhir tahun sejatinya menjadi “eksperimen nasional” yang menguji kesiapan negara dan dunia usaha dalam menyelaraskan kebijakan ketenagakerjaan, transportasi, dan stabilitas ekonomi.
“WFA adalah keniscayaan di dunia kerja modern. Tantangannya bukan menarik kembali kebijakan ini, tetapi mendewasakan implementasinya agar produktivitas tetap terjaga dan negara tetap hadir di saat masyarakat paling membutuhkan,” pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Polisi Ungkap Jaringan Penadah Motor Curian di Bandar Lampung, Dua Tersangka Ditangkap
Jumat, 26 Desember 2025 -
Polisi Tembak Mati Pelaku Curanmor di Bandar Lampung, Satu Lainnya Masih DPO
Jumat, 26 Desember 2025 -
Mahasiswa FEB Universitas Teknokrat Raih Juara 3 Business Plan Festival Earth Dream 2025
Jumat, 26 Desember 2025 -
Komdigi Kesekian Kalinya Gandeng Teknokrat Gelar VSGA Gel-10 dan DEA
Jumat, 26 Desember 2025









