Dampak Negatif Pernikahan Dibawah Tangan, Perempuan dan Anak Paling Dirugikan

Ilustrasi
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Sepanjang tahun 2022 hingga
Januari 2023, terdapat 1.531 pasangan di Lampung menikah dibawah tangan atau hanya
menikah secara agama, dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Dengan adanya pernikahan dibawah tangan tersebut, banyak dampak
yang ditimbulkan, salah satunya bahkan anak yang dilahirkan dari pernikahan itu
dianggap bukan anak yang sah. Dalam kasus ini perempuan dan anak kerap menjadi pihak yang paling dirugikan.
Pengamat Hukum Keluarga UIN Raden Intan Lampung, Abdul Qodir
Zaelani mengatakan, sebagaimana dalam kompilasi hukum Islam pasal 6 ayat (2) disebutkan
bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Sehingga efeknya, yang dirugikan adalah istri dan anak yang
dilahirkan nya. Jika suaminya meninggal, istri dan anak tidak mendapatkan waris
dari suaminya.
"Anak yang dilahirkan dianggap bukan anak yang sah. Sebab, berdasarkan peraturan perundangan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Bila perkawinan tidak sah, maka hubungan keperdataannya hanya ke ibu dan keluarga ibunya," ujarnya, saat dikonfirmasi, Kamis (23/2/2023).
BACA JUGA: 1.531
Pasangan di Lampung Nikah Dibawah Tangan
Meskipun lanjutnya, berdasarkan putusan MK No
46/PUU-VIII/2010 anak di luar nikah atau tak tercatat di KUA dimungkinan
memiliki hubungan perdata dengan ayahnya, dengan persyaratan tertentu.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dinyatakan
tiap tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan berlaku. Tujuan adanya
pencatatan perkawinan, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 5, disebutkan
bahwa agar terjaminnya ketertiban hukum bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat.
"Berdasarkan peraturan perundangan tersebut, bagi
setiap perkawinan harus dicatatkan, sebagai bukti legalitas dan sahnya
pernikahan," ungkap Zaelani.
Menurutnya, penyebab pernikahan di bawah tangan ini ada
banyak faktor di antaranya yaitu minimnya pemahaman masyarakat terhadap hukum,
terkhusus betapa pentingnya pencatatan perkawinan.
Selanjutnya, adanya budaya masyarakat, karena jauhnya akses
ke kota, atau minimnya pemahaman hukum. Sehingga mereka menikah secara
tradisional dengan memilih menikah secara adat dibanding secara peraturan.
Sehingga nikah di bawah tangan, dianggap hal biasa.
"Kemudian kedua belah pihak belum siap meresmikan
pernikahan melalui resepsi pernikahan. Serta bisa juga karena kedua belah pihak
belum siap mental untuk menikah secara resmi, diakibatkan perzinaan,"
ungkap dia.
Selain itu tambahnya, bisa juga disebabkan karena poligami.
Karena bagi siapapun yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin istri
melalui pengadilan.
"Sebagaimana UU No 1 Tahun 1974 pasal 4 disebutkan bagi
yang ingin beristri lebih dari seorang wajib mengajukan permohonan kepada
pengadilan di daerah tempat tinggal," kata dia.
Oleh karenanya kata Zaelani, untuk meminimalisir persoalan
tersebut maka solusinya adalah perlunya sosialisasi kepada masyarakat
pentingnya pencatatan perkawinan.
Selanjutnya, penyuluh di KUA juga perlu mensosialisasikan prodesur
pencatatan perkawinan, terkhusus di masyarakat terpelosok.
"Bagi masyarakat yang sudah nikah di bawah tangan, agar
melakukan isbat nikah di pengadilan," tandasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Perbaikan Ruas Jalan Program 100 Hari Kerja Mirza-Jihan Capai 50 Persen
Jumat, 09 Mei 2025 -
Alfamart Sahabat Posyandu bersama Sweety Hadir Kembali Mendukung Tumbuh Kembang Balita di Indonesia
Jumat, 09 Mei 2025 -
Perkuat Jejaring Global, Universitas Teknokrat Indonesia Teken MoU dengan Kedutaan Besar Palestina
Jumat, 09 Mei 2025 -
Proyek Pengadaan Obat Dinkes Lampung Tembus 10,5 Miliar
Jumat, 09 Mei 2025